BNPT Perlu Klarifikasi Terkait Pesantren Terindikasi Radikal
2016.02.08
Jakarta
Pengasuh pondok pesantren dan aktivis seni Muslim menyayangkan pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution yang menyebutkan terdapat 19 pondok pesantren di berbagai daerah di Indonesia diduga sarat dengan kegiatan radikalisme.
Kepada wartawan usai menjadi pembicara diskusi publik di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) di Jakarta Pusat, Selasa 2 Februari 2016 lalu, Saud menyatakan, pondok-pondok pesantren itu berada di Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
"Pesantren tidak mungkin mengajarkan radikalisme. Dua hal yang selalu diajarkan di pesantren sejak sebelum republik ini berdiri adalah ilmu agama dan nasionalisme. Ketika itu juga ajakan untuk berjihad agar negeri ini menjadi negara merdeka," ujar seorang politisi PKB, Maman Imanulhaq.
Maman, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menambahkan bila ada ajaran tentang jihad, itu bukan jihad yang mengajarkan kekerasan tapi mengajarkan santri untuk bekerja keras demi mewujudkan perubahan.
"Yang tidak boleh adalah mengajarkan terorisme karena itu mengajak orang untuk menghina lambang-lambang negara dan membunuh orang yang tidak berdosa," ujar Maman kepada BeritaBenar di Jakarta, 8 Februari 2016.
Pendiri Pesantren Al Mizan di Majalengka, Jawa Barat ini menyebutkan seharusnya sebelum mengeluarkan pernyataan seperti itu, kepala BNPT perlu mengklarifikasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk menyamakan parameter yang dipakai dalam menyimpulkan adanya indikasi itu.
Selanjutnya BNPT bekerja sama dengan kementerian terkait dan ulama-ulama untuk pembinaan pesantren yang jika memang benar terindikasi ajaran radikalisme.
Dia menambahkan bahwa kuncinya adalah "komunikasi, koordinasi dan konfirmasi" ke Kemenag dan berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah atau Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Konfirmasi itu juga untuk mendapatkan kejelasan mengenai bantuan dana yang diduga masuk ke berbagai pondok pesantren, dan ini perlu melibatkan sejumlah institusi lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Internal pemerintah
Hal senada dikatakan Candra Malik, wakil ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU), dengan menyatakan seharusnya informasi yang diungkapkan Saud bukan konsumsi publik, tetapi cukup sebatas informasi internal pemerintah yang ditindaklanjuti dengan penanggulangan.
"Jika disiarkan secara terbuka, apalagi tanpa merinci nama-nama 19 pesantren yang diduga menyebarkan ajaran radikal itu, BNPT bersikap kontraproduktif dan memicu polemik, terutama di kalangan Muslim," ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut Candra, pesantren adalah pusat dan sumber kebudayaan yang berperan sangat strategis dalam gerakan kebangsaan sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri sehingga tidak selayaknya dituduh mengajarkan radikalisme.
"Jika pun ditengarai ada pesantren mengajarkan radikalisme, maka kemungkinannya adalah teroris telah menyusup ke pesantren, dan bukan pesantren yang mencetak teroris dan menyebarkan ajaran terorisme dan radikalisme," tutur Candra.
Maman mengatakan program deradikalisasi yang tepat adalah dimulai dengan cara memandang manusianya, bukan melalui cara kekerasan. Selain itu, juga dengan memecahkan beberapa masalah utama yang menyebabkan orang menjadi radikal dan salah satunya adalah kemiskinan.
"Perlu juga membangkitkan lagi militansi kelompok moderat, jangan sampai masjid-masjid diisi dengan kelompok-kelompok kecil tapi radikal dan gaungnya besar," ujar Maman.
Data pesantren di Indonesia
Seperti yang dilaporkan situs Kompas.com, Saud mengatakan berdasarkan profiling tim di lapangan, ke-19 pesantren diduga banyak terkait dengan kegiatan radikalisme.
Menurut Saud, sebelumnya tercatat ada 20 pesantren yang terindikasi mengajarkan paham radikalisme, namun Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa satu tidak termasuk yang terindikasi sehingga daftarnya berkurang menjadi 19 pesantren.
"Intinya, di 19 (pesantren) ini kami melihat adanya keterlibatan, apakah dosennya, pengajar, atau santrinya dalam kelompok radikal. Kalau izin kan yang mencabut bukan kami. Ini peringatan untuk semua stakeholder terkait," ucap Saud seperti dikutip Kompas.com.
Menurut data Kementerian Agama, terdapat 27.230 pondok pesantren di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2011 - 2012 dengan jumlah terbesar berada di Jawa Barat yaitu sebanyak 7.624 pesantren.
Selanjutnya jumlah terbesar kedua dan ketiga pesantren ada Jawa Timur dengan 6.003 pesantren dan Jawa Tengah sebanyak 4.276 pesantren. Kemudian, disusul Banten di posisi keempat dengan 3500 pesantren. Jumlah pesantren di empat provinsi ini mencakup 78,60 persen dari total seluruh pesantren yang ada di Indonesia pada periode tersebut.
Candra mengatakan bahwa pesantren masih dan akan selalu bisa dijadikan rujukan bagi citra Islam yang membawa berkah bagi seluruh umat.
"Ajaran ahlussunnah wal jama'ah [golongan dan kelompok yang menetapkan ajaran Nabi Muhammad SAW] mendidik santri untuk tidak hanya mencintai Allah SWT, Rasulullah, dan agamanya, namun juga mencintai dan berbakti kepada negara," ujar Candra.