BNPT: 25 Napi Teroris Masih Radikal
2016.02.02
Jakarta
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution menyebutkan bahwa masih ada 25 narapidana kasus terorisme yang masih radikal. Mereka kini tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.
Angka itu disampaikan Saud dalam diskusi pubik bertajuk "Deradekalisasi: Menangkal Bahaya Terorisme" yang digelar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Pusat, 2 Februari.
"Masih ada 25 orang yang belum bisa diubah mindset-nya," katanya dalam pemaparannya.
Saat dikonfirmasi BeritaBenar seusai acara, Saud enggan merinci nama ke-25 napi tersebut. "Saya enggak hafal, lah," ujarnya.
Dia hanya menyebut satu nama, yaitu Aman Abdurahman alias Oman Rachman alias Abu Sulaiman. Aman adalah narapidana kasus pelatihan militer di Jalin, Aceh, pada 2010 lalu. Dia juga dikatakan terkait dengan aksi teror di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu.
"Udah enggak bisa itu (diubah cara berpikir Aman)."
Pria yang disebut-sebut kelahiran Sumedang pada 1972 itu kini mendekam di Lapas Nusakambangan setelah divonis sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2010 lalu. Vonis ini lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara.
Aman sudah menghabiskan hampir enam tahun masa tahanan di Nusakambangan. Meskipun masih menunjukkan gelagat menolak ikut program deradikalisasi yang digagas BNPT, dia berpotensi menghirup udara bebas dengan masih berbekal paham radikal yang mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Ketika disinggung mengenai potensi itu, Saud tak berkomentar banyak. "Ya, bagaimana lagi? Bebas dia (Aman Abdurahman). Hukumnya, kan, begitu," ujar Saud.
Lantas, program deradikalisasi macam apa yang bakal dilakukan BNPT terhadap Aman sebelum hari kebebasannya nanti? Tanpa memerinci, Saud menukas singkat, "Deradikalisasi itu proses, lah."
198 bekas napi menghilang
Bebasnya narapidana yang masih radikal ibarat momok yang belum bisa dicarikan solusi oleh pemerintah Indonesia. Sunakim alias Afif, misalnya, adalah residivis kasus terorisme pada 2011 yang juga disebut-sebut sebagai anak buah Aman. Alih-alih tobat ketika menghirup udara bebas pada pertengahan 2015, ia justru menjadi salah seorang pelaku teror Thamrin.
Menurut Saud, Afif sebenarnya masuk dalam daftar eks-narapidana yang dipantau. Namun dalam perkembangannya, aparat justru kehilangan jejak.
"Ia tak terpantau karena berpindah-pindah tempat sehingga kami sulit memantau apa yang dilakukannya," ujar Saud lagi.
Berdasarkan data BNPT, setidaknya ada 198 bekas narapidana kasus terorisme yang kini menghilang tak diketahui rimbanya. Hanya 386 orang terdata, dari keseluruhan 584 mantan narapidana kasus terorisme.
"Bersama kepolisian, kami terus mencari," tambah Saud.
BNPT diminta tak menyerah
Mengomentari narapidana kasus terorisme masih berpaham radikal yang sebentar lagi bebas seperti Aman Abdurahman, pengamat terorisme Nasir Abbas meminta BNPT untuk tak menyerah dan terus menjalankan program deradikalisasi.
"Itu penting. Barangkali belum mendapatkan hidayah saja," ujar Nasir.
Dia mencontohkan pengalamannya saat menempuh program deradikalisasi yang digagas pemerintah. Mantan petinggi Jemaah Islamiyah ini mengatakan, dirinya membutuhkan waktu cukup lama untuk akhirnya menerima dan terbuka, sampai akhirnya kini terlibat dalam program deradikalisasi narapidana terorisme bersama BNPT.
"Deradikalisasi itu ibarat komunikasi. Dan komunikasi itu penting. Penjara 12 tahun tanpa komunikasi, itu semua percuma," ujarnya berargumen.
"Awal-awal menjalani program deradikalisasi, saya pun tak mau ngobrol dan menatap mata penyidik. Hanya, setelah terus diberikan penjelasan, saya paham dan mulai terbuka."
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Mahasin, sepakat bahwa proses deradikalisasi bisa memakan waktu. "Diskusi dalam program deradikalisasi bisa berlangsung santai. Tak perlu langsung membahas soal agama," katanya.
"Kalau langsung memulai dengan agama, mereka pasti langsung tak mendengarkan," imbuhnya.
Membina yang belum radikal
Selain terus mengupayakan program deradikalisasi terhadap para narapidana kasus terorisme, Mahasin juga menyoroti pentingnya pembinaan dan pengajaran terhadap anggota masyarakat yang belum terpapar paham radikal.
Hal itu, tambah Mahasin, penting agar paham radikal seperti ISIS bisa ditangkal dan tak berkembang di Indonesia. Bersama BNPT, Kementerian Agama pun kini terus menyuarakan ajaran Islam yang toleran.
"Kami mengajarkan Islam yang moderat, majemuk, dan santun," ujar Mahasin lagi.
Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB, An'im Falahuddin Mahrus, menyarankan agar pembinaan itu dimulai secepat mungkin.
"Itu harus diajarkan sejak dini. Keluarga adalah kuncinya," tutupnya.