Beralasan tidak ingin Dewan HAM PBB dipolitisasi, Indonesia tolak bahas Uighur
2022.10.07
Jakarta
Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) pada Jumat (7/10) mengatakan Dewan Hak Asasi Manusia PBB tidak boleh dipolitisasi dan menjadi arena persaingan geopolitik, sehari setelah Indonesia menolak proposal negara Barat untuk mengadakan debat tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur dan kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Xinjiang, China.
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, yang beranggotakan 47 negara, pada Kamis malam (6/10), mengadakan pemungutan suara atas proposal yang diajukan sejumlah negara seperti Inggris, Turki, Amerika Serikat untuk mengadakan debat tahun depan tentang dugaan pelanggaran hak asasi terhadap warga Muslim di Xinjiang yang merupakan minoritas di China.
Dalam pemungutan suara itu 19 negara menolak, termasuk Indonesia dan beberapa negara mayoritas Muslim lainnya, sementara 17 negara mendukung, dan 11 abstain.
“Kenapa kita posisi ‘No’ antara lain karena kita tidak ingin politisasi di Dewan HAM PBB yang digunakan untuk tujuan yang terkait misalnya, pada rivalitas politik,” kata Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu, Achsanul Habib, dalam konferensi pers.
“Kita harapkan Dewan HAM tidak pilih-pilih dan selektif dalam memilih isu yang akan dibahas. Contohnya, sekarang tentang Xinjiang, nanti dipilih lagi untuk isu yang lain,” ujarnya.
Sebuah laporan PBB yang dirilis Juni mengatakan penindasan China terhadap Uighur dan minoritas Turki lainnya di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang (XUAR), sebuah wilayah otonom China yang terletak di barat laut negara itu, “bisa jadi merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Laporan itu mengatakan telah terjadi “pelanggaran hak asasi manusia yang serius” di XUAR dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme pemerintah China.
Pihak berwenang di wilayah tersebut diyakini telah menahan hampir 2 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di jaringan kamp penahanan sejak awal 2017.
Indonesia dalam dokumen penjelasan voting menyebutkan Dewan HAM PBB harus fokus untuk membangun lingkungan yang kondusif untuk mendorong semua negara dapat memenuhi kewajiban hak asasi manusianya.
“Indonesia memandang pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM hari ini tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti, utamanya karena tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari negara yang berkepentingan,” demikian pernyataan Indonesia yang dibacakan Duta Besar Febrian Ruddyard seperti diterima BenarNews.
“Berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut, Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung rancangan keputusan mengenai penyelenggaraan debat tentang situasi HAM di Wilayah Otonomi Xinjiang Uighur,” kata Febrian.
Negara lain yang menolak usulan itu antara lain Qatar, Pakistan, dan Uni Emirat Arab.
Ini merupakan kedua kalinya dalam 16 tahun sejarah Dewan HAM sebuah mosi ditolak.
Habib mengatakan Dewan HAM PBB bertujuan sebagai forum untuk semua negara berdialog secara imparsial, dan juga membangun kesepakatan yang tujuannya adalah hasil yang terbaik.
“Disamping dengan proses rivalitas geopolitik tentu kita paham ada sebagian negara yang mendukung dan ada sebagian negara yang menolak,” katanya.
“Indonesia juga bekerja sama, berkoordinasi dan berkonsultasi dengan semua pihak, antara lain dengan negara pengusung, dengan negara Barat, dan RRT (China),” kata Habib.
Terkait dengan kekhawatiran pelanggaran HAM di Xinjiang, ujarnya, instrumen HAM dan mekanisme seperti ini bukan menjadi satu-satunya jalan. Menurutnya, dialog terus dilakukan dengan berbagai pihak terutama dengan China melalui Organisasi Kerja sama Islam (OKI).
“Bahwa penyelesaian isu-isu terkait HAM atau konflik harus nasional effort level yang diutamakan secara inklusif dengan melibatkan para pihak yang ada dalam negara tersebut.”
“Nah ini yang terus dikedepankan, ini yang didorong oleh OKI yang kemarin juga pada akhirnya mereka tidak sepakat, tidak sejalan apabila harus mendukung inisiatif yang masih diragukan ketulusannya dalam proses pembahasan isu ini,” ujar dia.
Mengecewakan
Pakar Hubungan Internasional Amerika - China dari Deakin University, Greg Barton, mengatakan ini memang keputusan yang mengecewakan, tapi tidak mengejutkan.
“Seharusnya Indonesia lebih berani. Tapi setidaknya, tidak seperti sejumlah negara lain, Indonesia tidak sekadar mengulang-ulang propaganda pemerintah China dan menyangkal adanya masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam skala masif yang terjadi di Xinjiang,” kata dia kepada BenarNews.
Dalam pernyataannya, kata dia, Duta Besar Febrian Ruddyard mengatakan “Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan demokrasi yang dinamis, Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap penderitaan saudara Muslim kita”.
"Keputusan Indonesia untuk tidak memilih mendukung, jika dijelaskan secara real politik - karena China menolak untuk menyetujui penyelidikan apa pun, atau bahkan mengakui bahwa ada masalah. Memilih ya 'tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti'."
Selain itu, Barton menilai pertimbangan politik dalam negeri juga mempengaruhi posisi pemerintah Indonesia.
Menurut dia, faktor utama yang menjadi pertimbangan politik adalah bahwa Jakarta menghadapi tekanan kuat dari Beijing dan tidak ingin memicu perselisihan besar dengan pemerintah China.
Pakar China dan Ketua Pusat Studi China, Rene Pattiradjawane, menilai keputusan Indonesia sudah tepat karena prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
“Memang Indonesia harus menyatakan tidak, bukan berdasarkan memenuhi kepentingan negara maju. Jangan sampai Indonesia terjerat oleh upaya untuk menjelek-jelekkan China karena kepentingan negara lain,” katanya kepada BenarNews.
Menurut dia, usulan tersebut merupakan upaya negara Barat untuk menekan China.
“Memang ini masalah politik dan Indonesia tidak bisa bersikap. Indonesia dalam konteks apapun tidak akan mau ikut ‘gebukin’ China,” ujarnya.
Menyangkal
Kementerian Luar Negeri China menuduh AS dan beberapa negara Barat memberikan informasi yang salah kepada publik tentang Xinjiang untuk mencoreng citra China.
“Isu yang terjadi di Xinjiang bukan tentang HAM, tapi tentang melawan terorisme kekerasan, radikalisme dan separatisme,” kata Kementerian Luar Negeri China.
Sebuah tim yang terdiri dari tokoh agama dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia berkunjung ke China pada Februari 2019. Mereka mengatakan tidak dibawa ke lokasi kamp penahanan melainkan ke kamp pelatihan kerja. Mereka juga tidak diizinkan untuk berinteraksi atau mewawancarai penduduk lokal.
Hasil penelitian Freedom House, sebuah LSM pemerhati HAM berbasis di Washington, yang dirilis bulan lalu, mendapati bahwa China mengintensifkan kampanyenya untuk mempengaruhi serta memanipulasi informasi di seluruh dunia, dengan menggunakan segala cara untuk memproyeksikan citra positif dirinya di luar negeri.
“Upaya untuk menutupi dan menyangkal kekejaman atas hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan terhadap anggota kelompok etnis dan agama minoritas di Xinjiang,” kata Freedom House, “adalah hal yang paling menggangu yang dihasilkan dari kampanye pengaruh media global itu.”
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari 16 negara yang rentan terhadap manipulasi berita dari Beijing.