Kerugian Bencana 2019 Capai Rp80 Triliun, Rp75 Trilliun karena Kebakaran Hutan

BNPB mencatat 478 orang meninggal, 109 orang dilaporkan hilang, ribuan luka-luka dan mengungsi.
Arie Firdaus
2019.12.30
Jakarta
191230_ID_Disaster_1000.jpg Foto tertanggal 22 November 2019 ini memperlihatkan sebuah rumah yang rusak akibat banjir setelah hujan lebat di Desa Tanjung Sani, Agam, Sumatra Barat.
AFP

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerugian akibat bencana di seluruh Indonesia sepanjang 2019 mencapai sekitar Rp80 triliun dimana 93% di antaranya diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Karhutla memicu kerugian tertinggi, sebesar Rp75 triliun.

Jumlah ini hampir serupa dengan perhitungan kerugian yang dirilis World Bank pada Rabu tiga pekan lalu, sekitar USD5,2 miliar atau lebih dari Rp72 triliun.

"Berdasarkan catatan BNPB, luas keseluruhan lahan terbakar selama 2019 sebesar 942.485 hektare dengan puncak bencana terjadi pada Juli hingga November kemarin," kata juru bicara BNPB Agus Wibowo dalam keterangan pers di Jakarta, Senin, 30 Desember 2019.

"Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan dampak kebakaran terbesar mencapai 161.298 hektare, disusul Kalimantan Barat 131.654 hektare, Nusa Tenggara Timur 120.143 hektare, dan Kalimantan Selatan 115.317 hektare."

Secara umum, tambahnya, total lahan terbakar sepanjang tahun ini lebih besar ketimbang dua tahun belakangan.

Pada 2018, total lahan yang terbakar mencapai 529.266 hektare, sedangkan pada 2017 seluas 165.483 hektare.

Angka total kerugian tahun ini lebih kecil dari kerugian tahun lalu yang disebut lebih dari Rp100 triliun.

Selain kebakaran hutan dan lahan, kerugian akibat bencana juga disebabkan oleh banjir dan tanah longsor yang menerpa Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Kerugian di masing-masing wilayah itu sebesar Rp1,33 triliun dan Rp1,91 triliun.

Adapula gempa bumi di Halmahera Selatan yang menyebabkan kerugian Rp0,27 triliun dan banjir bandang di Papua yang mencatatkan kerugian sebesar Rp1,4 triliun.

Secara keseluruhan, Agus Wibowo mengatakan jumlah bencana sepanjang 2019 mencapai 3.768 kejadian.

Bencana hidrometeorologi yang meliputi tanah longsor, puting beliung, kekeringan, banjir, hingga gelombang pasang atau abrasi mendominasi dengan catatan 3.731 kejadian.

"Bencana geologi (semisal letusan gunung api atau gempa bumi) hanya 37 kasus, tapi berdampak besar," lanjut Agus.

Korban meninggal

Mengenai jumlah korban, BNPB mencatat 478 orang meninggal dunia, 109 orang dilaporkan hilang, 3.419 mengalami luka-luka, dan 6.177.707 orang mengungsi.

Tahun lalu, jumlah korban meninggal akibat bencana tercatat lebih dari 3.500 orang. Korban luka sebanyak 13.112 orang dan lebih dari tiga juta orang mengungsi.

Beberapa bencana alam besar memang terjadi di tahun lalu, seperti gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat; dan gempa disertai tsunami di Sulawesi Tengah.

Kedua bencana ini ketika itu dilaporkan menimbulkan kerugian masing-masing Rp17,13 triliun dan Rp13,82 triliun.

Sedangkan kerusakan rumah akibat bencana sepanjang 2019 tercatat sebanyak 73.427 unit, dengan rincian 15.765 rusak berat, 14.548 rusak sedang, dan 43.114 rusak ringan. Adapula kerusakan fasilitas publik yang mencapai 2.017 unit.

Adapun tahun lalu, rumah yang rusak berat mencapai 339.969 unit, 7,810 rusak sedang, 20.608 rusak ringan, dan ribuan fasilitas publik hancur.

Menanggapi rangkaian data tersebut, Kepala BNPB Doni Mordano meminta masyarakat tetap waspada, terutama bagi mereka yang berdomisili di kawasan rawan bencana seperti gempa bumi.

"Gempa bumi itu jenis bencana yang kerap berulang di lokasi sama, namun tidak ada satu pihak pun yang dapat memprediksi kapan peristiwa selanjutnya akan terjadi," kata Doni.

Ia mencontohkan gempa di Sendai, Jepang, yang berulang meski sudah kerap terjadi gempa besar di masa lalu.

Sendai pernah diterpa gempa besar disusul tsunami pada 1933 dan berulang pada 2011.

"Magnitudonya lebih dari 9 SR dan korban lebih dari 25 ribu di tempat yang sama," kata Doni.

Prediksi cuaca 2020

Mengenai prediksi cuaca Indonesia pada 2010, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers di kantor BNPB memperkirakan musim kemarau panjang tak akan terjadi di Indonesia, layaknya tahun ini.

Hal itu, terang Dwikora, lantaran fenomena El Nino diprediksi tak akan terjadi hingga Juni tahun depan.

Selain itu, indikasi kemunculan fenomena perbedaan suhu muka air laut di sebelah timur Afrika dan barat daya Sumatra juga tidak akan terjadi.

"Sehingga menurut kami, suhu muka air laut di Indonesia pada 2020 akan menjadi normal. Artinya, diprediksi tidak akan terjadi musim kemarau berkepanjangan," kata Dwikorita.

Terkait curah hujan, BMKG memprediksi akan meningkat pada Januari hingga Maret 2020 secara bertahap, khususnya di Sumatra bagian selatan, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian tengah, Sulawesi, dan Papua.

Meski demikian, Dwikora tetap meminta masyarakat dan otoritas lokal untuk mewaspadai perbedaan cuaca di wilayah Aceh dan Riau.

Musim kemarau diprediksi akan tetap terjadi di kedua wilayah ini sepanjang Februari hingga Maret dan dikhawatirkan dapat menimbulkan kekeringan dan kebakaran lahan.

"Kami mengimbau semua pihak memaksimalkan kapasitas waduk dan kolam retensi untuk cadangan air," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.