Bekas Anggota Gafatar 'Harus Dilindungi'
2016.01.22
Jakarta
Diperbaharui pada 26-1-2016, 04:00 WIB
Aktivis hak asasi manusia kembali menyerukan agar pemerintah melindungi para bekas anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), setelah rumah-rumah mereka di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dibakar massa 19 Januari lalu.
Organisasi Gafatar berdiri sejak 2011 namun tidak mendapatkan izin dari Kementerian Dalam Negeri dan dicap sesat oleh berbagai kalangan pemuka agama di sejumlah tempat.
Aksi pembakaran oleh masyarakat yang menolak keberadaan mereka itu menyebabkan lebih dari 1000 mantan anggota beserta keluarganya dievakuasi dari rumah-rumah mereka.
Banyak bekas anggota Gafatar dari berbagai tempat di Indonesia yang pindah ke daerah itu untuk bertani setelah organisasi tersebut dilarang di berbagai tempat dan menyatakan membubarkan diri pada bulan Agustus 2015. Saat ini mereka berada di penampungan sementara sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing.
Peneliti SETARA Institute Aminudin Syarif menyayangkan tindakan anarkis massa terhadap warga bekas anggota Gafatar. Selama seseorang masih menjadi warga negara Indonesia, katanya, maka negara wajib melindungi dan menjamin hak-haknya, terlepas dari apapun keyakinan atau agamanya.
"Jika ada pihak lain yang melakukan kekerasan dan sejenisnya terhadap orang yang berbeda agama atau keyakinan, maka negara harus bertindak. Karena itu hak tiap warga negara. Jangan ada diskriminasi karena mereka berbeda agama atau keyakinan," ujar Aminudin kepada BeritaBenar, Jumat, 22 Januari.
Langkah pemerintah dengan mengevakuasi eks anggota Gafatar dinilai Aminudin tidak produktif karena hanya bersifat sementara. Seharusnya, kata dia, individu atau kelompok yang melakukan tindak kekerasan itulah yang harus ditangkap.
Aminudin mengingatkan hal serupa juga pernah terjadi di beberapa tempat terhadap komunitas-komunitas minoritas yang berbeda, seperti kaum Syiah di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu.
"Mereka diungsikan, dilindungi, dicarikan tempat. Tapi bukan itu solusinya. Pemerintah terkesan menghindari tanggung jawab saja. Pemerintah justru tunduk, takluk pada gertakan dan intimidasi yang dilakukan kelompok-kelompok mayoritas tersebut," papar Aminudin.
Masalah akidah
Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat menyatakan pihaknya masih mengkaji apakah Gafatar mengajarkan ajaran yang menyimpang dari agama dan akan mengeluarkan fatwa awal Februari mendatang, namun sejumlah cabang MUI di beberapa tempat sudah menyatakan organisasi itu menyimpang, salah satunya di Yogyakarta.
MUI Yogyakarta menyatakan Gafatar sesat karena dianggap jelmaan baru dari Al Qiyadah Al Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Mushadeq yang tahun 2008 lalu pernah divonis empat tahun penjara karena dianggap melakukan penodaan terhadap agama.
"Gafatar adalah bentuk baru dari organisasi yang mengajarkan pemahaman sesat nabi palsu Ahmad Mushadeq," kata Ahmad Muhsin Akmal, Sekretaris MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti dilansir Tempo 12 Januari lalu.
Pemerintah lewat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan masih mengkaji dan meminta masukan dari Kejaksaan Agung dan para pemuka agama sebelum menyatakan Gafatar sebagai organisasi terlarang. Namun Aminudin juga memandang negatif upaya pemerintah yang melibatkan ormas-ormas Islam dalam hal ini.
"Karena terkesan mereka tidak benar. Bagi kami, apapun ajaran atau doktrin ideologinya bukan masalah, karena itu urusan tiap individu dan dijamin oleh Undang-Undang. Kalau melibatkan ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, lagi-lagi ini upaya untuk mengakomodir kepentingan mayoritas. Kesannya mereka harus ditobatkan, ditarik ke jalan yang benar," tegasnya.
"Masalah akidah dan ideologi, sulit untuk diurus oleh pemerintah. Itu bagian dari hak sipil dan politik, dimana pada prinsipnya ketidakhadiran negara justru lebih bagus. Kecuali untuk urusan keamanan, negara harus hadir."
Akan 'membantu'
Kontroversi mengenai organisasi ini kembali muncul setelah suami dari seorang dokter benama Rica Tri Handayani melaporkan bahwa istri dan anaknya yang berusia balita hilang sejak tanggal 30 Desember lalu. Sebelas hari kemudian, dokter Rica dan anaknya ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, diduga untuk ikut hijrah bersama para bekas anggota Gafatar lain.
Sejak itu semakin banyak keluarga lain yang melaporkan anggotanya yang hilang dan diduga terlibat organisasi yang sama.
Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mukti menilai pemerintah harus memberikan pemahaman kepada para bekas anggota Gafatar yang diperkirakan berjumlah 50.000 orang dan pihaknya bersedia membantu.
"Akan lebih baik jika Pemerintah menggunakan pendekatan hukum dan pendidikan. Dari sudut hukum, para pemimpin Gafatar bisa dijerat dengan pasal penipuan, atau penculikan orang. Dari aspek pendidikan, para eks Gafatar bisa diberikan konseling agama dan politik secara intensif dan sistematis. Muhammadiyah siap membantu dan bekerjasama dalam aspek pendidikan dan sosial," ujar Abdul kepada BeritaBenar.
Namun dia juga beranggapan, menyatakan Gafatar sebagai organisasi dan gerakan ilegal atau terlarang tidak menyelesaikan masalah.
"Organisasi sejenis akan muncul kembali. Sebagaimana adagium ‘ideologi tak akan pernah mati’. Melarang Gafatar, memenjarakan para dedengkotnya dan merumahkan pengikutnya bukan solusi yang tepat," imbuh Abdul.
Yang diperlukan, lanjutnya, adalah solusi sosial spiritual, dimana organisasi-organisasi keagamaan, khususnya Islam, perlu menyempurnakan, meningkatkan, dan memperbaiki strategi, material, dan sasaran dakwahnya. Abdul menilai selama ini dakwah Islam lebih bersifat kolosal-seremonial yang menekankan ajaran formal-ritual.
Bukan organisasi keagamaan
Dalam wawancara langsung di TV One 13 Januari lalu, mantan Ketua Umum Gafatar Mahful Tumanurung membantah organisasi yang pernah dipimpinnya adalah organisasi keagamaan. Dia menyebut organisasinya sebagai organisasi sosial dengan anggota dari berbagai keyakinan.
"Gafatar bukan organisasi keagamaan. Memang ada nilai-nilai moralitas yang kami junjung tinggi berdasarkan kitab-kitab Tuhan yang sudah ada dan universal. Siapapun dia selama berpikiran jernih, pasti sepakat dengan nilai-nilai itu," ujar Mahful.
Mahful juga mengatakan para mantan anggota Gafatar tetap menjaga komitmen bersama untuk membangun negeri ini meski sudah dibubarkan sejak Agustus lalu. Dia mengatakan banyak para bekas anggotanya yang merasa diusir dan dikucilkan keluarganya setelah organisasi itu dicap sesat dan ingin pindah ke tempat lain.
Para mantan pengurus organisasi ini, kata dia, tetap memberikan semangat kepada para mantan anggota untuk memulai kehidupan baru dengan menjalankan program ketahanan pangan yang merupakan misi mereka di tempat baru.
"Jangan putus asa lantaran mereka diusir dari kampung halaman mereka. Kami ingin membaur dengan masyarakat, kami ingin menjadi petani. Saat ini kami tengah membentuk kelompok-kelompok tani di daerah. Saya punya tanggung jawab sosial kepada mantan warga Gafatar yang ingin terjun dalam bidang pertanian," ungkapnya.
Versi sebelumnya mencantumkan informasi yang keliru yang mengatakan bahwa Gafatar dibentuk pada tahun 2012. Versi ini juga mengoreksi bahwa komunitas yang mendapat perlakuan kekerasan di Madura adalah Syiah dan bukan Ahmadiyah seperti dicantumkan sebelumnya.