Filipina, Indonesia Sambut Program Penghapusan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara
2021.11.09
Manila dan Jakarta
Filipina dan Indonesia, dua ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memulai upaya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara, termasuk proyek percontohan yang diluncurkan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menurut beberapa aktivis lingkungan lebih menguntungkan perusahaan listrik daripada korban perubahan iklim.
Diumumkan pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26)di Glasgow, Skotlandia, pada 3 November, Mekanisme Transisi Energi (ETM) ADB berupaya mempercepat transisi energi bersih terutama di Filipina dan Indonesia, juga Vietnam. ETM akan menyiapkan dua dana bernilai miliaran dolar – satu untuk penggunaan kembali dengan tujuan baru atau pensiun dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan satu lagi untuk mendorong investasi dalam “energi bersih,” menurut sebuah rilis berita.
Sekretaris Keuangan Filipina Carlos Dominguez mengatakan ETM “memiliki potensi untuk mempercepat penghentian pembangkit batubara setidaknya 10 hingga 15 tahun dalam rata-rata.
“Waktu untuk berdebat dan hanya membahas teori perubahan iklim sudah berakhir. Hari ini, kami memfokuskan pada solusi dan program yang dapat diterapkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cepat,” kata Dominguez pada peluncuran program itu di Glasgow, menurut pernyataan pemerintah.
“Kami memiliki planet untuk diselamatkan dan kami tidak punya banyak waktu,” kata Dominguez, yang mengepalai delegasi Filipina dalam COP26.
Dominguez mengatakan Filipina sedang meningkatkan pembangkit listrik tenaga air Agus-Pulangi di pulau selatan Mindanao. ETM akan memungkinkan negara untuk secara bertahap memperoleh pembangkit listrik tenaga batu bara dan menggunakannya kembali untuk hal lain.
“Mindanao akan menampilkan masa depan yang ramah terhadap bumi yang bisa direplikasi di daerah lain di Filipina – dan bahkan di negara lain di seluruh dunia,” kata Dominguez, “bersama dengan Bank Pembangunan Asia, Filipina merintis model inovatif yang akan menetapkan standar global dalam transisi ke masa depan energi yang lebih bersih.”
Disebut-sebut sebagai kemungkinan program pengurangan karbon terbesar di dunia, ETM diharapkan dapat menarik dari investasi publik dan swasta untuk membiayai “dana ETM khusus negara untuk menghentikan aset pembangkit listrik tenaga batu bara lebih awal dari jadwal daripada jika tetap dengan pemiliknya saat ini,” menurut pernyataan situs web ADB. Pemerintah Jepang telah menyumbangkan $25 juta untuk ETM.
“Mempercepat penghentian listrik berbahan bakar batubara akan meningkatkan permintaan energi bersih dua hingga tiga kali lipat, menurunkan biaya pembangkitan energi secara keseluruhan dalam jangka panjang,” kata ADB.
Di Indonesia, Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dikelola pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan ADB untuk pembiayaan publik-swasta guna mempercepat upaya untuk beralih dari batu bara, kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
“Kementerian menyambut baik kolaborasi BUMN dengan berbagai pemangku kepentingan yang menandai langkah pertama menuju transisi yang adil dan terjangkau untuk mempromosikan pembangunan netral karbon,” kata Erick.
Septian Hario Seto, Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, juga memuji MoU tersebut.
“Saya pikir ini akan menjadi hal yang baik untuk membantu kita bertransisi ke energi baru dan terbarukan yang rendah emisi,” katanya, iIni juga bisa membuat pemerintah berpikir lagi untuk membangun PLTU karena banyak pendanaan yang sudah dihentikan.”
Sehari setelah pengumuman ADB, Dana Investasi Iklim (CIF) Bank Dunia merilis rincian Program Percepatan Investasi Transisi Batubara senilai hampir $2,5 miliar yang ditujukan untuk mentransisikan negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan Filipina dari tenaga batu bara.
“Negara-negara tersebut dipilih berdasarkan saran dari panel ahli independen, yang menilai kandidat negara berdasarkan potensi perubahan transformasional dan mobilisasi sektor swasta, di antara metrik lainnya,” kata CIF dalam siaran pers yang mengumumkan program tersebut pada 4 November.
“Indonesia, dengan dukungan dari Program Percepatan Investasi Transisi Batubara (ACT) CIF, berkomitmen untuk mengurangi dan mengganti pembangkit listrik tenaga batubara kami dengan energi terbarukan sebagai bagian dari upaya kami dalam transisi energi. Pada catatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Program Investasi ACT atas dukungannya yang berkelanjutan untuk Indonesia menuju masa depan yang bersih dan berkelanjutan,” kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, dalam rilis berita.
Reaksi para pemerhati lingkungan
Beberapa aktivis iklim mengatakan bahwa fokus ETM adalah pada “bailing out” perusahaan batu bara tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang telah menderita akibat emisi karbon dari pembangkit batu bara.
“Rencana penghentian batubara ADB tidak masuk akal dan tidak tepat untuk secara efektif menangani kepentingan mendesak terhadap iklim,” kata koordinator nasional Gerakan Filipina untuk Keadilan Iklim Ian Rivera dalam pernyataannya kepada BenarNews.
Pernyataan itu mengatakan ADB lebih tertarik membantu “pelaku krisis iklim” daripada membantu masyarakat.
"Skema ini pada dasarnya adalah bail-out bagi mereka yang melakukan kejahatan membunuh planet ini," katanya.
Gerry Arances, direktur eksekutif Pusat Energi, Ekologi dan Pembangunan di Kota Quezon, Filipina, mengatakan proyek itu pada dasarnya memberi penghargaan kepada para penyandang dana batu bara yang membantu menciptakan krisis.
“Perusahaan batubara harus menanggung bagian yang sesuai dalam biaya penutupan awal, termasuk biaya reparatif dan transisi yang adil, di atas hukuman yang harus dibayar atas pelanggaran yang dilakukan dan sebagai kompensasi terhadap mereka yang mengajukan keluhan,” kata Arances kepada BenarNews.
Pemerhati lingkungan lainnya mendukung program-program itu meskipun ada kekhawatiran.
Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) kelompok pemerhati lingkungan yang berbasis di Jakarta, mengatakan program itu praktis karena pembangkit batu bara tua mahal untuk dijalankan. Pembangkit listrik tenaga batu bara memasok 65 persen kebutuhan listrik Indonesia.
“Tetapi diperlukan komitmen dari pemerintah, misalnya berupa peraturan presiden tentang transisi batubara sebagai kerangka hukum,” kata Tumiwa sambil mendesak pemerintah untuk mempersiapkan transisi sehingga pendanaan untuk energi baru dan terbarukan dapat ditingkatkan.
Juru kampanye energi Greenpeace Filipina, Khevin Yu, juga menyambut baik upaya tersebut tetapi memperingatkan bahwa mereka mungkin tidak memiliki perlindungan yang diperlukan untuk mendorong negara-negara yang bergantung pada tenaga batu bara untuk segera merangkul energi terbarukan.
“Kami percaya bahwa tingkat dekomisioning harus lebih cepat,” kata Yu, menambahkan bahwa tujuan Manila saat ini untuk mengoperasikan 50 persen energi terbarukan pada tahun 2040 adalah satu dekade terlambat.
Berdasarkan perkiraan Greenpeace, Filipina harus memiliki setidaknya 50 persen energi terbarukan pada tahun 2030.
“Itulah target Filipina bisa berkontribusi pada target global penurunan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius,” kata Yu kepada BenarNews.
ETM harus dipotong untuk mengejar itu, kata Yu, dan mengatur bahan bakar transisi kami seperti gas alam yang mendukung sumber terbarukan termasuk tenaga angin dan matahari.
“Ketika ETM menggambarkan ‘energi bersih’, harus disebutkan dengan pasti bahwa itu harus menjadi energi terbarukan, bukan hanya energi bersih,” kata Yu, “karena kita berada dalam konteks krisis di mana kita perlu mempercepat dan membuat komitmen yang lebih ambisius, kita harus langsung mempromosikan energi terbarukan, dan seharusnya tidak ada bahan bakar transisi dalam prosesnya.”
Sebelum pengumuman ADB, lebih dari 60 organisasi masyarakat sipil internasional menulis surat terbuka yang mengkritik ETM karena kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan selain perusahaan listrik dan pemerintah.
“Kami mendesak ADB untuk tidak mempertaruhkan nyawa kami, realitas krisis iklim yang dihadapi, atau kemungkinan mengakhiri batubara dengan cara yang cepat, adil, dan benar-benar transformatif dengan skema pembelian dini yang masih diselimuti ketidakpastian,” demikian pernyataan surat tertanggal 1 November yang ditandatangani oleh Friends of the Earth, Greenpeace Indonesia, Growthwatch India, Pusat Hukum Lingkungan Indonesia dan puluhan organisasi lainnya.
Ahmad Syamsudin turut berkontribusi dalam laporan ini.