Dilema energi Indonesia: Pembangkit batu bara di tengah janji ramah lingkungan

Penambahan dua unit PLTU Suralaya dikhawatirkan semakin memperburuk lingkungan dan kesehatan warga.
Arie Firdaus
2024.11.04
Suralaya, Banten
Dilema energi Indonesia: Pembangkit batu bara di tengah janji ramah lingkungan Sejumlah unit PLTU Suralaya dilihat dari Bukit Teletubbies di Suralaya, Provinsi Banten, 20 Oktober 2024.
Eko Siswono Toyudho/BenarNews

Suara gemuruh itu mengagetkan tidur siang Edi Suriana di akhir Agustus lalu. Warga Desa Suralaya berusia 45 tahun itu, yang takut akan gempa bumi, berlari keluar dari gubuknya yang sederhana.

Tidak berapa lama ia kemudian menyadari bahwa itu adalah uji coba PLTU Suralaya unit 9 dan 10 yang baru selesai dibangun. Meski berdiri sejauh satu kilometer dari rumahnya di Cilegon, Banten, gemuruh pembangkit listrik tenaga uap tersebut cukup keras hingga membuatnya gelisah.

"Suaranya memekakkan telinga. Awalnya saya kita itu gempa," kata Edi kepada BenarNews.

PLTU unit 9-10 yang disebut Edi merupakan pembangkit berbahan bakar batu bara terbaru berkapasitas total 2.000 megawatt atau 50% dari kapasitas total kompleks PLTU Suralaya yang sudah tersedia yang dibangun awal 2020.

Proyek ini merupakan bagian upaya pemenuhan target listrik 35.000 megawatt – cukup untuk mengaliri listrık 35 juta rumah – yang dicanangkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2015 dan uji coba siang itu merupakan persiapan jelang peresmian pembangkit pada akhir 2024.

Edi mencatat setidaknya ada beberapa pengujian lain sepanjang September, termasuk uji coba mesin pada 9 September malam yang mengeluarkan asap kelabu di langit Suralaya.

Video uji coba pembangkit itu belakangan viral di media sosial setelah lembaga pemantau lingkungan hidup berbasis di Jakarta, Trend Asia, mengunggahnya di media sosial X.

Kompleks PLTU Suralaya mulai dibangun pada 1984 di lembah seluas sekitar 240 ribu hektare yang dikelilingi perbukitan, dengan mengoperasikan dua unit pembangkit.

Lima tahun berselang, pembangkit unit 3 dan 4 dioperasikan, disusul penambahan unit 5, 6 dan 7 pada 1997.

Unit 8 berkapasitas 625 megawatt kemudian beroperasi pada  2011, seiring program 1.000 megawatt yang digagas presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhyono.

Lebih banyak mudarat

Meski telah beroperasi sekitar 40 tahun, Edi yang lahir di Suralaya 45 tahun lalu itu mengaku justru mendapat lebih banyak mudarat dari keberadaan PLTU di kawasan tempat tinggalnya. Menurut Edi, batuk dan sesak napas adalah "makanan sehari-hari" dirinya dan keluarga.

Edi Suriana, warga Desa Suralaya yang tinggal di dekat PLTU Suralaya, di Cilegon, Banten, memperlihatkan surat rujukan dokter untuk putranya yang menderita sesak napas, pada 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]
Edi Suriana, warga Desa Suralaya yang tinggal di dekat PLTU Suralaya, di Cilegon, Banten, memperlihatkan surat rujukan dokter untuk putranya yang menderita sesak napas, pada 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

Pada 2019, anak keempatnya bernama Aqifa Naila yang kala itu masih berusia tiga tahun didiagnosis penyakit paru-paru yang disinyalir akibat polusi dari PLTU Suralaya.

"Saya bukan anti pembangunan," kata Edi, seraya menambahkan, "tapi saya anggap, pemerintah ini main-main dengan masalah kesehatan."

Saat BenarNews mengunjungi kediaman Edi dan berbincang di teras rumah, dia menjabarkan kondisi Aqifa "sudah sehat" setelah mengonsumsi obar paru-paru selama enam bulan.

Hanya saja, dari dalam rumah suara batuk anggota keluarga lain silih berganti terdengar. Begitu pula, beberapa tetangga di sebelah rumah Edi.

Ongkos kesehatan dan ekonomi

Direktur Eksekutif PENA Masyarakat, lembaga advokasi lingkungan di Banten, Mad Haer Effendi mengatakan buruknya kesehatan adalah ongkos paling besar yang harus dibayar masyarakat Suralaya akibat keberadaan kompleks PLTU.

"Kerugian yang pasti, ya, kesehatan," kata Mad Haer yang dikenal warga Suralaya dengan sapaan Aeng.

PENA Masyarakat mencatat, Kecamatan Suralaya --lokasi kompleks PLTU Suralaya berada-- adalah salah satu wilayah dengan angka penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tertinggi di Kota Cilegon.

Kerugian lain, kata Aeng, adalah ekonomi akibat ruang hidup yang terus menyempit seiring meluasnya kompleks PLTU di wilayah tersebut.

Dia mencontohkan Pantai Kelapa 7 - lokasi pembangunan PLTU unit 9-10 yang semula ramai sebagai tujuan wisata murah bagi masyarakat Suralaya kini sepi.

Walhasil, jika pemerintah bersikeras memperluas kompleks PLTU di Suralaya dengan mengoperasikan unit 9-10, Aeng menilai kerugian akan semakin meluas.

"Beban akan bertambah, karena PLTU yang sudah ada saja tidak ada pertanggungjawaban kepada masyarakat," ujar Aeng.

"Mungkin, kerugian juga bukan hanya (untuk) masyarakat lokal, khususnya di tiga desa terdekat yakni Salira, Lebak Gede, dan Suralaya, tapi akan semakin berdampak luas sampai ke Jakarta."

Seorang warga yang berdomisili tidak jauh dari PLTU Suralaya di Cilegon, Banten,  memegang obat yang harus diminumnya karena ia menderita infeksi saluran pernapasan akut. Foto diambil pada 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]
Seorang warga yang berdomisili tidak jauh dari PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, memegang obat yang harus diminumnya karena ia menderita infeksi saluran pernapasan akut. Foto diambil pada 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dalam laporan yang dilansir September 2023 menyatakan, polusi Jakarta salah satunya memang dipicu keberadaan PLTU yang tersebar di provinsi sekitar.

Kala itu, CREA menyatakan PLTU Suralaya berkontribusi menghasilkan konsentrasi partikel halus berukuran kurang dari 2,5 mikrometer hingga ke Jakarta, yang bisa masuk ke dalam saluran pernapasan dan bahkan ke dalam aliran darah dan berdampak negatif pada kesehatan.

Polusi PLTU Suralaya itu juga disebut CREA berpotensi menyebabkan hilangnya 1.470 nyawa per tahun dan kerugian kesehatan mencapai USD1,04 miliar atau sekitar Rp14,2 triliun.

Berdasarkan catatan PENA Masyarakat, setidaknya terdapat 21 PLTU di seluruh penjuru Banten --belum termasuk unit 9-10 yang belum beroperasi. Sebanyak sepuluh di antaranya terletak di Cilegon.

Ajukan keberatan ke Bank Dunia

Proyek PLTU 9 dan 10 di Suralaya dimiliki dan dikelola oleh PT Indo Raya Tenaga, bekerja sama dengan perusahaan Korea Selatan, Doosan Enerbility.

Kerja sama kedua perusahaan ditandatangani di sela-sela KTT ASEAN di Jakarta pada 2023, disaksikan pemerintah Indonesia dan Korea Selatan.

Presiden Direktur PT Indo Raya Tenaga, Peter Wijaya, mengatakan bahwa PLTU 9 dan 10 akan menjadi pembangkit hibrid pertama di Indonesia, memanfaatkan 60 % amonia dan hidrogen hijau dalam proses produksi –sisanya menggunakan batu bara– sehingga dapat lebih ramah lingkungan.

Dalam pembangunannya, masyarakat dan sejumlah LSM sempat mengajukan keberatan kepada Bank Dunia usai dinilai secara tidak langsung mendanai pembangunan PLTU uni 9-10 Suralaya lewat anak lembaganya yakni International Finance Corporation (IFC).

IFC dituding mendanai proyek karena memiliki investasi ekuitas senilai Rp236,3 miliar atau sekitar USD15,36 juta di Hana Bank Indonesia --salah satu pemberi dana proyek tersebut.

Gugatan itu merupakan laporan kedua yang dilayangkan masyarakat sekitar pembangkit, setelah gugatan ke Departemen Keuangan Amerika Serikat pada Agustus 2021.

Ragukan janji “ramah lingkungan”

Meski diklaim akan lebih ramah lingkungan, Aeng meragukannya, dengan mengatakan, "Bahan bakar utama kan masih batu bara."

Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri menambahkan, rencana pengoperasian PLTU unit 9-10 Suralaya menunjukkan pemerintah yang setengah hati menjalankan transisi ke energi terbarukan serta kesepakatan yang diteken pada Perjanjian Paris 2015.

Perjanjian Paris tentang perubahan iklim memuat tentang kesepakatan mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca untuk membatasi peningkatan temperatur global hingga setidaknya 1,5 derakat celsius. Indonesia kala itu bertekad mencapai emisi nol pada 2060.

"Bisa dikatakan ini adalah bentuk tidak berkomitmennya pemerintah," ujar Novita kepada BenarNews.

BenarNews menghubungi PT Indo Raya Tenaga selaku operator PLTU unit 9-10 Suralaya, tapi tak beroleh balasan.

Dalam pernyataan tentang keberlanjutan lingkungan yang dilansir di situs perusahaan, mereka mengklaim kedua pembangkit baru tersebut rendah emisi, sekitar 85% lebih rendah dibanding standar emisi PLTU di Indonesia serta telah sejalan dengan program keberlanjutan menuju net zero carbon.

Batubara versus energi terbarukan

Sementara pemerintah menyuarakan dukungan untuk sumber energi terbarukan, batu bara tetap menjadi kekuatan dominan dalam lanskap energi negara ini. Meskipun para pembuat kebijakan menekankan komitmen mereka terhadap energi terbarukan, kemajuannya lambat karena kepentingan batubara yang mengakar.

Sebagian dari kompleks PLTU Suralaya terlihat pada malam hari di Kota Cilegon, Banten, 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]
Sebagian dari kompleks PLTU Suralaya terlihat pada malam hari di Kota Cilegon, Banten, 20 Oktober 2024. [Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang sekitar 60% dari pembangkitan listrik Indonesia pada tahun 2022.

“Kepentingan pengusaha batubara terus mendominasi keputusan pemerintah, terutama karena batubara berkontribusi signifikan terhadap pendapatan dan investasi daerah,” kata Muhammad Andri Perdana, seorang peneliti di Bright Institute, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Jakarta.

Biaya konstruksi pembangkit listrik tenaga batu bara yang lebih rendah dibandingkan dengan infrastruktur energi terbarukan membuatnya menarik bagi investor, tambah Muhammad Andri. Situasi ini diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten.

Sementara Kementerian Keuangan memperkenalkan peraturan untuk mempromosikan pembiayaan energi terbarukan, inisiatif lain secara bersamaan telah mempermudah jalur untuk penambangan dan penggunaan batubara. Misalnya, PLN diuntungkan oleh regulasi yang memperbolehkannya membeli batu bara dengan harga di bawah harga pasar, yang melemahkan daya saing energi terbarukan, kata Muhammad Andri.

“Memberikan pujian atas energi terbarukan sementara masih mengandalkan batu bara adalah bentuk greenwashing,” ujarnya merujuk pada strategi komunikasi yang memberi kesan "ramah lingkungan" meskipun dalam praktiknya adalah sebaliknya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.