Sah, Batas Usia Perkawinan Minimal 19 Tahun
2019.09.16
Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan batas usia perkawinan minimal 19 tahun, dengan disahkannya revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Senin, keputusan yang menurut pejabat pemerintah akan melindungi puluhan juta anak Indonesia.
"Setuju," demikian jawaban serentak anggota DPR yang hadir ketika Waki Ketua DPR yang menjadi pimpinan sidang, Fahri Hamzah, menanyakan persetujuan para anggota dewan terkait undang-undang itu dalam sidang paripurna di Senayan, Jakarta, Senin, 16 September 2019
"10 fraksi (DPR) setuju batas usia minimal pria dan wanita untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun," kata Wakil Ketua Badan Legislasi, Totok Daryanto, menjelaskan bahwa perubahan isi revisi terbatas pasal 7 ayat 1 itu saja.
Dalam aturan sebelumnya, seorang laki-laki yang ingin menikah minimal harus berusia 19 tahun, sedangkan perempuan berumur minimal 16 tahun.
Dispensasi bisa diberikan melalui persetujuan pengadilan yang diajukan orang tua calon mempelai.
"Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi usia perkawinan harus mempertimbangkan semangat pencegahan usia perkawinan dini, nilai-nilai agama, budaya, dan adat-istiadat masyarakat setempat," kata Totok.
Sekitar 14 persen anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, demikian menurut badan anak-anak PBB, Unicef, mengutip data 2017.
Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan 260 juta penduduk, memiliki jumlah pengantin anak tertinggi kedelapan di dunia, hampir 1 ½ juta, kata Unicef.
Perkawinan anak perempuan di bawah usia 15 dan 16 telah menunjukkan penurunan terbesar sejak 2008, sedangkan perkawinan di antara anak perempuan berusia 16 dan 17 tidak berubah secara signifikan, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia, dengan sampel nasional pada sekitar 200.000 rumah tangga.
‘80 Juta anak terlindungi’
"Pengesahan ini membuktikan bahwa negara terus melindungi 80 juta anak Indonesia demi generasi emas di masa depan. Kami mengucapkan terima kasih," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Yembise.
Menurutnya, keputusan tersebut memang sangat ditunggu masyarakat Indonesia, untuk menyelamatkan anak dari perkawinan dini yang sangat merugikan anak, keluarga serta negara. Data juga melaporkan pernikahan dini rawan akan adanya kekerasan terhadap perempuan.
"Selama 45 tahun, akhirnya terjadi perubahan UU perkawinan demi memperjuangkan masa depan anak-anak Indonesia,” katanya.
Meski telah disahkan, Ledia Hanifa Amaliah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjelaskan pihaknya tetap berpandangan bahwa batas minimal usia perkawinan 18 tahun.
“Selama ini memang ada beberapa ketidaksinkronan di dalam sejumlah undang-undang yang mengatur tentang batas usia anak, yang tentunya tidak dapat dipisahkan dengan usia perkawinan,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, dalam kurun 2014-2018, berdasarkan data Pengadilan Agama di berbagai daerah, penyebab paling dominan perkawinan anak adalah karena faktor hamil di luar nikah, disamping faktor ekonomi dan budaya.
"Sudah sepatutnya memperkuat peraturan perundang-undangan terkait pencegahan perzinaan sebagai tindakan preventif untuk menekan penyebab utama perkawinan di usia anak menjadi konsen negara secara serius," kata Ledia menambahkan bahwa penting bagi pemerintah menggiatkan kampanye menolak seks pra-nikah dan membatasi penyebaran konten pornografi.
Sebuah studi tahun 2015 oleh organisasi nirlaba Plan International mendapati bahwa perkawinan dini sering dijadikan jalan keluar terhadap stigma yang diasosiakan dengan seks di luar pernikahan dan pelecehan seksual.
Revisi undang-undang KUHP yang dipersiapkan untuk disahkan DPR bulan ini mengatur hukuman dua tahun penjara bagi pelaku seks di luar pernikahan.
Peraturan ini dan ketentuan lainnya seperti masalah penistaan agama telah dikritik sejumlah aktivis.
Perkawinan anak juga merupakan salah satu penyebab kematian terkait kehamilan di Indonesia, memperlambat kemajuan negara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium terkait kematian ibu, menurut PBB.
Upaya sebelumnya oleh organisasi non-pemerintah dan aktivis hak-hak perempuan untuk meningkatkan usia minimal menikah untuk anak perempuan menjadi 18 tahun tidak berhasil.
Pada 2015, Mahkamah Konstitusi menolak petisi semacam itu, dengan alasan bahwa Islam dan agama-agama lain tidak menetapkan usia minimum untuk menikah, dan bahwa pubertas biasanya merupakan indikasi bahwa anak perempuan siap untuk menikah.
Namun pada bulan Desember tahun lalu, pengadilan yang sama memerintahkan legislatif untuk meningkatkan usia pernikahan untuk anak perempuan, sebagai tanggapan terhadap sebuah petisi yang diajukan oleh para pengantin anak dan aktivis hak-hak gender.
Pengadilan berpendapat bahwa membiarkan mereka yang berusia 16 tahun dinikahkan berpotensi membahayakan anak-anak.
Terjadi di semua tingkat ekonomi
Data Unicef menunjukkan bahwa perkawinan anak terjadi di semua tingkat ekonomi di masyarakat Indonesia. Pada 2015, hampir satu dari delapan anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 berasal dari rumah tangga dengan tingkat pengeluaran tertinggi, katanya.
Sementara kemiskinan adalah faktor utama, banyak anak-anak perempuan juga dinikahkan oleh orang tua mereka yang kaya karena kepercayaan tradisional, seperti keyakinan bahwa perempuan yang tidak cepat menikah akan berakhir menjadi perawan tua dan karena itu mempermalukan keluarga, demikian menurut para pakar.
Komisioner Komnas Perempuan, Nina Nurmila, ketika dihubungi mengaku batasan usia pernikahan seharusnya 21 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
"Karena kami menilai di usia itu mereka sudah benar-benar siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan," katanya.
Namun, tambahnya, Jika memang sudah disahkan dengan batasan minimal 19 tahun, hal itu dinilai karena kemampuan DPR adalah demikian.
"Ya, itulah kemampuan DPR segitu. Minimal sudah tidak ada perbedaan usia perkawinan antara pria dan wanita, yaitu sama-sama 19 tahun," ujar Nina.
Saat ini yang jadi persoalan adalah bagaimana memberi pengertian di Pengadilan Agama khususnya yang di daerah-daerah untuk bisa mengikuti aturan UU Perkawinan tersebut.
"Masih jadi PR bersama, karena ya kita tahu masih banyak orang tua yang beranggapan menikahkan anak usia dini lebih baik," tuturnya.
Sedangkan, Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi mengaku sangat mengapresiasi dengan disahkannya revisi RUU Perkawinan.
"Itu tidak akan bertentangan dengan agama, hukum positifnya adalah memberi ruang kepada perempuan juga untuk lebih mengembangkan hak hidup dalam menentukan masa depannya," pungkas Masduki.
Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.