Bali, dari Pendistribusian Menjadi Tempat Produksi Sabu
2016.08.31
Denpasar
Diperbarui 1 September 2016, 22:00 WIB.
Waktu hampir tengah malam ketika AKBP I Ketut Arta bersama timnya menuju Perumahan Puri Wahana di Kuta Utara, Senin lalu, 22 Agustus 2016.
Sebelumnya, mereka sudah menangkap tiga pengguna sabu-sabu yaitu STP, MA, dan VK di dua lokasi terpisah.
Mereka mengaku mendapat barang terlarang itu dari orang yang sama. Malam itu, tim pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Bali menangkap BB (35) seorang warga Jerman, pemasok sabu-sabu untuk STP, MA dan VK.
BB yang juga agen properti, sudah lima tahun menetap di Indonesia dengan multiple visa. Dia tinggal di rumah kontrakan.
Awalnya, BB tidak mengaku sebagai pemasok sabu-sabu. Dia juga menolak sebagai pengguna. Tapi di lantai dua rumah kontrakannya, petugas BNN menemukan dua paket sabu-sabu seberat 5 gram.
Petugas juga menyita peralatan dan bahan pembuatan sabu, seperti botol, aseton, soda api, amonium nitra, dan lainnya. BB tak berkutik dan mengakui membuat sabu-sabu.
“Dia mengaku belajar membuat sabu-sabu dari YouTube,” ungkap Arta, Kepala Bidang Pemberantasan BNN Bali kepada BeritaBenar, Selasa, 30 Agustus 2016.
Kepada petugas, BB mengaku baru empat kali membuat sabu-sabu. Setelah tiga kali hasilnya tak terlalu bagus, baru pada pembuatan keempat dia berhasil.
Berdasarkan barang bukti yang ditemukan, jelas Arta, BB termasuk salah satu produsen skala rumah tangga. “Dia menggunakan clandestine lab,” tambahnya.
Selama 1,5 bulan belajar, BB belum banyak memproduksi sabu-sabu. “Tapi, kalau tidak keburu tertangkap, dia pasti membuat dalam jumlah besar juga,” ujar Arta.
Puncak gunung es
Tertangkapnya warga Jerman itu membuka pintu lain, munculnya Pulau Dewata sebagai tempat produksi sabu-sabu. Sebelumnya, Bali lebih dikenal sebagai tempat penjualan atau transit narkoba oleh sindikat internasional.
Beberapa kasus yang melibatkan warga negara asing lebih banyak menjadikan Bali sebagai transit.
Salah satu kasus terbesar adalah Bali Nine, yaitu penangkapan sembilan warga Australia yang membawa 8,3 kg heroin. Mereka tertangkap membawa heroin yang dipasok dari Thailand menuju Australia melewati Bali pada 2005 silam.
Dua di antara sembilan pelaku telah dieksekusi mati pada April 2015. Mereka adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Kasus lain yang juga melibatkan warga Australia yaitu Schapelle Leigh Corby, tahun 2004 dengan barang bukti 4,1 kg ganja. Dia tertangkap membawa ganja dari Australia ke Indonesia. Corby sudah selesai menjalani hukuman penjara sembilan tahun.
Dua kasus itu adalah contoh penyelundupan narkoba melalui atau menuju Bali. Namun, ujar Arta, Bali mulai menjadi tempat produksi narkoba jenis sabu-sabu dan ekstasi.
September 2014 lalu, Poltabes Denpasar membongkar pembuatan narkoba jenis sabu-sabu dan ekstasi. Pembuatan narkoba senilai Rp 12 miliar dilakukan di dua lokasi terpisah yaitu Denpasar dan di wilayah Bali utara yaitu Buleleng.
Menurut Arta, kasus-kasus narkoba yang terungkap hanya ibarat puncak gunung es. “Kasus di bawah pasti jauh lebih banyak,” katanya.
Mudah dibuat
Kadek Adi Mantara, Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), LSM yang mendampingi pengguna narkoba dalam proses rehabilitasi di Bali mengatakan, sabu-sabu dan ekstasi lebih mudah dibuat.
Menurutnya, sabu-sabu dan esktasi termasuk narkoba jenis amphetamine type stimulant (ATS). Bahan-bahan untuk membuatnya relatif mudah didapat.
“Paling hanya ephedrine yang masih harus beli dari luar negeri,” kata Mantara.
Narkoba ATS ini berbeda dengan jenis yang diolah dari bahan alami seperti heroin, kokain, dan ganja.
Sebelumnya, Bali terkenal sebagai pusat peredaran heroin. Adapun ganja dan kokain tidak terlalu banyak. Namun, ketika pasokan heroin makin berkurang, produksi jenis ATS terus meningkat.
“Faktanya kebutuhan narkoba di Bali cukup besar. Bandar-bandar (narkoba) besar banyak bermain di Bali sehingga melahirkan tempat-tempat baru,” kata Mantara.
Arta mengiyakan. Saat ini, kata dia, kasus narkoba di Bali hampir semuanya jenis sabu-sabu dan ekstasi.
“Selama sembilan bulan menjabat di BNN, saya belum pernah menemukan kasus heroin,” katanya.
Maraknya bisnis sabu-sabu, menurut Arta, karena tiga faktor. Pertama, banyak orang ingin mencoba. Setelah memakai, mereka kecanduan.
Kedua, sebagian orang melihat narkoba sebagai bisnis yang menjanjikan. Ketiga, semakin banyak tempat hiburan hingga di pedesaan, sehingga berpengaruh pada maraknya peredaran sabu-sabu dan esktasi.
Menyasar pelosok desa
Ngurah Jaya, mantan pengguna narkoba, mengakui peredaran sabu-sabu sudah menyasar pelosok desa.
“Narkoba yang banyak beredar saat ini memang sabu-sabu dan ekstasi. Kalau ada yang masih pakai heroin, pasti pemain lama,” ujarnya.
Sabu-sabu yang dijual di pasaran, sudah bentuk paket yang beratnya bervariasi. Satu paket 2 gram bisa seharga Rp3 juta. Ada pula paket 1 gram senilai Rp1,5 juta. Tapi, yang paling banyak dicari paket kecil kira-kira 0,2 gram seharga Rp400 ribu.
“Ada juga yang hanya satu pipet kecil, paling 0,01 gram dijual Rp200 ribu. Kalau sudah kepengen, sekecil apapun pasti dibeli,” ujar Jaya.
Kendati harga mahal, Mantara dan Jaya mengatakan pengguna sabu-sabu sudah menyasar semua kalangan. Umumnya mereka memakai untuk bersenang-senang, satu atau dua minggu sekali.
“Peredaran sabu-sabu di Bali ini sudah seperti air. Mengalir ke mana-mana tanpa bisa dibendung,” pungkas Arta.
Versi yang diperbarui ini mengoreksi masa jabatan AKBP I Ketut Arta di BNN; sebelumnya tertulis 9 tahun yang sebenarnya 9 bulan.