Indonesia pertimbangkan pemulangan napi narkoba asing termasuk terdakwa "Bali Nine"
2024.11.26
Jakarta
Indonesia sedang mempertimbangkan rencana "kemanusiaan" untuk memulangkan narapidana narkoba asing untuk menjalani sisa hukuman mereka di negara asal mereka, dimana Presiden Prabowo Subianto berencana memulangkan mereka berdasarkan kasus per kasus, demikian kata pihak berwenang Indonesia.
“Presiden telah menyetujui secara prinsip pemindahan narapidana WNA atas dasar kemanusiaan dan untuk menjaga hubungan baik dengan negara sahabat,” ujar Menteri Hukum Supratman Andi Agtas,dalam siaran pers pada Senin.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia menyepakati pemulangan lima terpidana narkoba seumur hidup yang tergabung dalam jaringan Bali Nine yang masih tersisa untuk kembali ke Australia, setelah dipenjara di Indonesia sejak 2005
Kesepakatan ini tercapai setelah pertemuan antara Prabowo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese disela-sela KTT APEC di Peru pada 15-16 November, yang kemudian disampaikan oleh Menteri Keuangan Australia Stephen Jones akhir pekan lalu.
Beberapa hari sebelumnya, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr., juga mengumumkan kesepakatan untuk memindahkan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, ke Filipina, setelah 14 tahun menjalani vonis di Indonesia.
Ali Nurdin, juru bicara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, mengatakan pemulangan Veloso dan warga Australia tersebut "saat ini hanya merupakan keputusan di tingkat presiden," dan kementerian sedang meninjaunya untuk memastikan pemulangan mereka mematuhi peraturan.
"Salah satu alasan perubahan kebijakan ini adalah aspek kemanusiaan. Orang tua para narapidana ini sudah lanjut usia dan tidak bisa bepergian ke sini,” kata Ali kepada BenarNews.
Menteri Supratman menegaskan bahwa negara asal narapidana harus mengakui putusan pengadilan Indonesia.
“Pemindahan napi WNA ke negara asal bukan berarti mereka bebas, mereka tetap harus menyelesaikan masa tahanannya sesuai dengan putusan hukum Indonesia,” ujar Supratman.
Selain pemindahan napi WNA, Indonesia juga tengah berupaya memulangkan narapidana asal Indonesia yang saat ini berada di luar negeri. "Kami sedang mengkaji mekanisme pemulangan narapidana Indonesia jika terjadi pertukaran," ujar Supratman.
Dikecam
Sejumlah pakar menanggapi dingin keputusan tersebut.
“Jelas ini sangat transaksional, dan ini preseden yang kurang baik sebenarnya untuk kita. Bali Nine ini kasusnya berbeda, bukan perdagangan orang, tetapi memang kasus perdagangan narkoba,” kata Dinna Prapto Raharja, pengajar Hubungan Internasional di Universitas Binus, kepada BenarNews.
“Mungkin alasan sebenarnya adalah untuk menjaga hubungan baik antarnegara,” tambahnya.
Abdul Fickar Hadjar, dosen hukum pidana Universitas Trisakti menambahkan keputusan ini juga bisa membuat orang beranggapan bahwa hukum Indonesia bisa diperdagangkan. “Ini adalah dampak berbahaya bagi penegakan hukum, bahwa hukum bisa dihindari dengan uang,” ungkapnya.
Permohonan grasi untuk Bali Nine sebelumnya telah ditolak dua kali oleh pemerintahan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono.
“Jika pemulangan dilakukan tanpa proses hukum yang jelas, maka itu hanya akan menjadi keputusan sepihak antara Presiden Prabowo dan PM Albanese,” kata Dina.
Dua warga Australia anggota “Bali Nine”, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dieksekusi mati pada 2015, yang menyebabkan ketegangan diplomatik dengan Australia.
Tujuh sisanya dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Satu orang meninggal karena kanker pada bulan Juni 2018, sementara yang lain mendapat keringanan hukuman pada bulan November di tahun yang sama.
Lima yang tertinggal – Matthew Norman, Michael Czugaj, Scott Rush, Martin Stephens dan Si Yi Chen – saat ini masih mendekam di penjara di Indonesia.
Beberapa surat kabar Australia melaporkan bahwa anggota "Bali Nine" yang tersisa kemungkinan bisa "pulang tepat untuk merayaka Natal."
Beberapa pihak di Australia menentang pemulangan pada terdakwa “Bali Nine” seperti mereka ungkapkan di X.
“Tidak ada alasan kemanusiaan. Mereka ingin menyebarkan racun mereka untuk keuntungan pribadi tanpa moralitas atau kemanusiaan. Tidak ada kesempatan kedua,” tulis @tom_mende.
“Bali Nine adalah penjahat: lakukan kejahatan, jalani hukuman,” tulis pengguna X lainnya, @TafPomScotiPole.
Tokoh oposisi Australia Michealia Cash dikutip oleh media lokal mengatakan bahwa Albanese harus merilis rincian kesepakatan yang dicapai dengan Jakarta terkait pembebasan anggota “Bali Nine”.
“Apa kesepakatannya? Apa yang Australia korbankan terkait kesepakatan itu? Berapa biaya yang harus dikeluarkan pembayar pajak Australia?” katanya seperti dikutip di Sky News.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, berharap keputusan ini bisa menjadi momentum untuk pendekatan yang lebih humanis dalam menangani kasus narkoba di Indonesia.
“Pemerintah harus konsisten menerapkan pendekatan berbasis HAM dalam kasus narkoba, baik yang melibatkan WNA maupun warga negara Indonesia,” katanya.
kepada BenarNews, seraya mengatakan bahwa pihak berwenang sering mengabaikan proses hukum saat menangani tersangka narkoba.
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia harus menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan, termasuk pelanggaran terkait narkoba.
Juru bicara dan penasihat Prabowo tidak segera menanggapi permintaan komentar dari BenarNews.
“Lebih dari sekedar alasan kemanusiaan”
Beberapa pengamat berpendapat bahwa langkah Indonesia mungkin didorong oleh lebih dari sekadar masalah kemanusiaan, karena hal itu terjadi ketika Prabowo terlibat dalam diplomasi yang cukup besar untuk mengembalikan Jakarta ke panggung dunia sebagai pemain geopolitik utama.
Prabowo mengunjungi sedikitnya 20 negara sejak menjadi presiden terpilih dan sebelum dilantik pada 20 Oktober. Setelah dilantik, ia mengunjungi Beijing, Washington, London dan Abu Dhabi, serta menghadiri KTT G20 di Brasilia selain KTT APEC di Lima. “Setiap pemerintahan menyesuaikan kebijakannya agar selaras dengan kepentingan nasional dan tujuan pemimpinnya,” kata Abdul Fickar.
“Jika Presiden Prabowo memperoleh niat baik dari tindakan-tindakan ini, itu tidak terkait dengan pertimbangan diplomatik dan hukum yang lebih luas.”
Usman dari Amnesty International mengatakan, “Pertanyaannya tetap apakah ini mencerminkan perubahan mendasar dalam kebijakan nasional atau [apakah] hanya keputusan ad hoc yang dipengaruhi oleh kepentingan politik dan tekanan diplomatik.”
Indonesia memiliki beberapa undang-undang narkoba paling keras di dunia dan menghadapi masalah penyalahgunaan narkoba yang terus meningkat dengan perkiraan 3,6 juta pengguna, menurut laporan negara tahun 2022.