Menlu ASEAN-Cina Bertemu Pekan Depan di Tengah Krisis Myanmar
2021.06.04
Jakarta
Menteri Luar Negeri anggota ASEAN bakal berada di Cina pada pekan depan untuk menghadiri pertemuan tatap muka pertama sejak pandemi COVID-19, di tengah usaha Kawasan itu untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengkonfirmasi kehadiran Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Cina pada pertemuan yang akan diadakan di kota Chongqing di Cina pada Senin dan Selasa 7-8 Juni 2021.
Sementara, Duta Besar Indonesia untuk ASEAN Ade Padmo Sarwono mengatakan agenda pertemuan para menlu akan membahas perkembangan kerja sama kedua pihak.
“Agenda sampai saat ini tentang ASEAN-China Cooperation,” kata Ade kepada BenarNews, Jumat (4/6).
Pertemuan para menteri luar negeri ini sejalan dengan peringatan hubungan Cina dengan kawasan yang ke-30 pada Juli nanti, yang selama setahun terakhir didominasi dengan kerja sama pengadaan vaksin COVID-19 yang diproduksi Tiongkok.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah tidak bisa memastikan apakah dalam pertemuan pekan depan, perihal situasi terkini di Myanmar akan turut menjadi agenda pembahasan para menteri luar negeri.
“Kalau ditanyakan mungkin, apapun menjadi mungkin. Saya belum dapat informasi hingga sore ini,” katanya.
Romeo Abad Arca, asisten direktur hubungan masyarakat di Sekretariat ASEAN Jakarta, tidak memberi respons ketika BenarNews mencoba mengkonfirmasikan hal ini.
Rizal Sukma, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies di Jakarta mengatakan pertemuan tersebut bisa dijadikan sebagai momentum memperkuat dukungan Cina bagi rencana ASEAN untuk mengimplementasikan hasil-hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Khusus terkait Myanmar di Jakarta, April lalu.
“Misalnya ASEAN kan mau buat program humanitarian assistance di Myanmar, salah satunya terkait bantuan COVID-19, untuk vaksin, ya butuh dukungan Cina,” kata Rizal kepada BenarNews, Jumat.
Konsensus Lima Poin dari ASEAN tentang Myanmar menyerukan diakhirinya segera kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak dan mediasi pembicaraan oleh utusan khusus ASEAN. Para pemimpin juga menyepakati pemberian bantuan kemanusiaan terkoordinasi ASEAN dan kunjungan delegasi ASEAN ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
Pertemuan itu dihadiri enam Kepala Negara dan tiga perwakilan negara anggota ASEAN serta pemimpin militer Myanmar Min Aung Hlaing.
Rizal mengatakan, Cina tidak bisa ikut memutuskan siapa utusan khusus yang akan menjadi perwakilan untuk memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang berkonflik di Myanmar.
“Keputusan soal envoy untuk Myanmar tidak berkaitan dan tidak tergantung Cina. Brunei, melalui konsultasi dengan seluruh negara anggota ASEAN yang harus memutuskan,” kata Rizal.
Pada Jumat, Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Dato Erywan Pehin Yusof dan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi berada di Naypyitaw untuk bertemu dengan pimpinan militer Myanmar guna membahas rencana pengiriman utusan khusus ke negara, sebut laporan Nikkei Asia.
Sebelumnya Indonesia telah meminta Brunei Darussalam selaku Ketua ASEAN 2021 untuk segera menunjuk utusan khusus menyusul kritikan atas lambannya respons kawasan setelah konsensus disepakati lebih dari sebulan lalu.
“Dan komunikasi dengan semua pihak harus dilakukan, termasuk dalam kunjungan Ketua dan Sekjen ASEAN ke Myanmar. Ini akan menjadi titik awal kerja ASEAN untuk menindaklanjuti lima poin konsensus,” kata Retno.
Quad
Rene Pattirajawane, associate fellow The Habibie Center yang juga Ketua Yayasan Pusat Studi Cina, mengatakan pertemuan para Menlu ASEAN dan Cina tidak bisa dilihat sebagai bentuk dukungan kawasan terhadap kekuatan tertentu.
Pasalnya kawasan tidak akan menarik keuntungan maupun kerugian dari Kelompok Quad yang dibentuk untuk membendung kekuatan ekonomi maupun militer Cina.
“Karena Quad adalah multilateralisme mini yang dikemas sebagai bentuk pakta militer untuk melakukan containment terhadap Cina. Jelas ini bertentangan dengan prinsip dasar ASEAN mengenai keadilan dan juga bertentangan dengan TAC (Treaty of Amity and Cooperation), kata Rene kepada BenarNews, Jumat.
“ASEAN harus berpegang teguh pada TAC sebagai prinsip dasar koeksistensi damai, apapun persoalan yang dihadapi oleh negara di dalam dan di luar kawasan,” tambahnya.
Kelompok Quad, yang terdiri dari empat negara Asia Pasifik: Amerika Serikat, India, Jepang, dan Australia, berencana menggelar pertemuan tingkat tinggi dalam waktu dekat untuk membahas persoalan infrastruktur di tengah pengaruh Cina, tulis laporan Reuters.
Pada Maret, Kelompok Quad juga telah menggelar pertemuan secara virtual yang membahas penguatan kerja sama vaksin COVID-19.
Rene berpendapat, AS perlu mengutamakan perbaikan hubungannya ke ASEAN ketimbang berupaya membatasi hubungan Cina dengan kawasan.
“AS kan tidak pernah datang dalam forum EAS Summit tiap tahun di mana ada 18 negara berkumpul. AS harus mengubah cara pendekatannya dengan ASEAN, kawasan ini tidak bisa diatur berdasarkan prinsip "You’re either with us or against us" atau "like-minded countries",” katanya.
AS bergabung dengan East Asia Summit (EAS) pada 2011, atau enam tahun setelah forum regional terbuka ini dibentuk. Selain negara ASEAN dan AS, EAS juga beranggotakan Cina, Australia, India, Jepang, dan Korea Selatan.
AS dan negara-negara Barat juga memiliki sikap berbeda dengan Cina dan ASEAN dalam menanggapi konflik di Myanmar pasca-kudeta militer, Februari lalu.
Pada Maret, Presiden AS Joe Biden memutus akses keuangan para pemimpin militer Myanmar di AS, yang disusul dengan Inggris yang menutup akses bepergian bagi para jenderal itu juga membekukan aset apapun yang mereka miliki di sana.
Sebaliknya, ASEAN belakangan dikabarkan melakukan lobi kepada PBB untuk membatalkan seruan penangguhan penjualan senjata ke militer Myanmar yang berdasarkan catatan kelompok hak asasi manusia, telah menewaskan lebih dari 800 warga sipil dan menahan ribuan orang lainnya, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Rene berpendapat Brunei mengutamakan kehati-hatian dalam melakukan komunikasi dengan semua pihak di kawasan, “karena mereka harus yakin kalau Myanmar mau menerima utusan khusus yang akan ditunjuk ASEAN itu.”
Pakar Hubungan Internasional Indonesia-Cina dari Universitas Indonesia (UI) Muhammad Arif mengatakan pertemuan ASEAN - Cina kemungkinan besar akan membahas soal persoalan Myanmar.
“Keinginan ASEAN untuk mendorong Cina melakukan hal yang sama dengan Amerika Serikat yaitu mendukung leadership ASEAN dalam upaya menyelesaikan krisis di Myanmar,” ujar Arif kepada Benarnews.
Menurutnya, dukungan Cina sangat penting bagi legitimasi kepemimpinan ASEAN di Myanmar terutama karena Cina sangat berpengaruh besar secara ekonomi di Myanmar.
“Sejak awal krisis Myanmar, dimensi regional kuat sekali. Cina patut khawatir karena infiltrasi krisis Myanmar bisa mengganggu stabilitas regional secara berkelanjutan. Apalagi Cina sebagai negara tetangga paling dekat,” ujarnya.
Myanmar, ujar Arif, bagi Cina juga bernilai strategis di regional seperti banyak investasi Cina di Myanmar, kemudian Myanmar juga dianggap sebagai pintu masuk Cina ke Samudera Hindia, ada proyek pipa minyak di pantai dan menjadi penghubung India - Cina.
“Apabila konflik besar dan menimbulkan gelombang pengungsi, pasti Cina juga tidak mau menerima banyak pengungsi karena menimbulkan masalah baru lagi sehingga Cina juga punya peran membuat Myanmar stabil,” kata dia.
Intinya, kata Arif, ASEAN menganggap Cina belum menggunakan pengaruhnya secara maksimal atas keadaan di Myanmar sama seperti apa yang dilakukan negara besar lainnya seperti Amerika Serikat.
“Saya ragu akan ada tindakan konkret. Pernyataan politik (Cina) untuk leadership ASEAN saja itu sudah cukup baik,” tambahnya.