Jokowi Minta ASEAN Tidak Terjebak Rivalitas Kekuatan Besar Dunia
2020.11.12
Jakarta

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Kamis (12/11) menyerukan negara-negara Perhimpunan Asia Tenggara (ASEAN) untuk tetap mempertahankan netralitas saat adanya upaya perebutan keberpihakan dari dua kekuatan besar dunia di kawasan, seraya menyampaikan pentingnya para mitra ASEAN untuk menghormati hukum internasional yang berlaku.
Menurut Jokowi upaya menarik ASEAN untuk berpihak pada salah satu dari dua kekuatan dunia – Amerika Serikat (AS) dan Cina - merupakan hal yang “sangat normal”.
“Dengan soliditas dan komitmen kuat untuk memajukan kerja sama inklusif maka ASEAN tidak akan terjebak di antara rivalitas tersebut dan ASEAN akan dapat memainkan peran sentralnya dalam pengembangan kerja sama Kawasan,” ujar Jokowi dalam pernyataan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-37 ASEAN yang digelar secara virtual.
Sementara itu dalam KTT antara ASEAN dan Cina yang diadakan Kamis, Jokowi mendorong peningkatan kerja sama Kawasan dan Cina.
"Saya ingin sampaikan tiga hal yang dapat kita lakukan agar segera bisa keluar dari pandemi dan memulihkan ekonomi. Pertama, transformasi kerja sama ekonomi berbasis digital," ujarnya.
Menurutnya, transformasi ekonomi dari cara-cara konvensional menuju ekonomi berbasis digital merupakan hal krusial yang saat ini harus dilakukan di tengah pandemi yang melanda 215 negara di dunia.
"Tahun 2020 adalah tahun kerja sama ekonomi digital ASEAN-Cina. Sebagai pemimpin global ekonomi digital dan rumah bagi sepertiga unicorn dunia, antara lain Baidu, Alibaba, dan Tencent, Cina adalah mitra strategis bagi ASEAN," kata Jokowi.
Persengketaan wilayah Laut Cina Selatan antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) masih mewarnai jalannya pertemuan multilateral ASEAN yang diagendakan berlangsung sampai tiga hari ke depan, selain juga pembahasan terkait penguatan kerja sama dalam pemulihan ekonomi dan sosial pasca-pandemi COVID-19 di kawasan.
Dalam pidato pembukaannya, Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc menggarisbawahi kawasan menghadapai tantangan yang sulit sepanjang tahun ini akibat ketidakstabilan regional serta krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19.
“Tahun ini, perdamaian dan keamanan bahkan berada di bawah ancaman yang lebih besar sebagai akibat dari bertambahnya risiko yang timbul dari perilaku negara yang tidak dapat diprediksi, persaingan dan friksi di antara negara-negara besar, berbagai tantangan terhadap sistem multilateral internasional, dan kemunculan keamanan non-tradisional yang semakin akut dan kecenderungan eksremis,” kata Phuc.
Phuc turut menyerukan mitranya di ASEAN untuk tetap melakukan pendekatan seimbang.
“ASEAN juga telah secara konsisten menyatakan posisinya yang berkomitmen kuat untuk mengubah Laut Cina Selatan, jalur laut kritis di kawasan dan dunia, menjadi lautan perdamaian, stabil, dan aman untuk jalur perdagangan, di mana perbedaan dan sengketa diselesaikan melalui cara damai,” sebut Phuc yang juga menjabat sebagai Ketua ASEAN 2020 dan tuan rumah KTT.
Pada pertemuan Kamis, para kepala negara ASEAN juga melakukan pertemuan terpisah dengan para pejabat tinggi Cina, Korea Selatan, dan India. Para pemimpin ASEAN juga akan mengadakan pertemuan puncak pertama mereka dengan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga.
Dalam sesi pertemuan ASEAN-Cina, Jokowi menyinggung perihal stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik yang menurutnya diwarnai dengan ketidakpastian akibat ketegangan di Laut Cina Selatan.
“Kita semua, tanpa terkecuali, memiliki tanggung jawab menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan,” kata Jokowi.
Dana responsif COVID-19
Para pemerintah negara ASEAN turut merampungkan pembentukan dana respons penanganan COVID-19 untuk menjamin perlindungan serta pemulihan masyarakat kawasan akibat pandemi global.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan ASEAN telah mengantongi komitmen dana bantuan senilai total U.S.$10 juta (atau setara Rp141,8 miliar) dari negara-negara mitra seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, Singapura, Australia, Swiss, dan Inggris.
“Dalam beberapa pertemuan sebelumnya saya telah menyampaikan bahwa ASEAN berusaha untuk merespons sejak awal terjadinya pandemi baik respons dari sisi kesehatan maupun respons dari sisi kerja sama ekonomi,” kata Retno dalam telekonferensi, Kamis malam.
Usulan alokasi dana respons COVID-19 disampaikan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-Ocha pada KTT ke-36 ASEAN pada April lalu, untuk mendukung semua upaya yang dilakukan pemerintah masing-masing negara dalam menghadapi ancaman global ini.
Dana yang terkumpul dapat digunakan untuk pengadaan alat uji COVID-19, alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan, alat-alat medis, dan juga mendukung penelitian dan pengembangan vaksin.
Pada kesempatan terpisah, PM Vietnam Phuc menyatakan ASEAN bersama Jepang juga telah bersepakat untuk segera merealisasikan pendirian ASEAN Center for Public Health Emergencies and Emerging Diseases untuk mengantisipasi potensi pandemi pada masa depan.
Per Kamis, Asia Tenggara mencatatkan lebih dari 950 ribu kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dengan Indonesia dengan jumlah tertinggi mencapai 452.291, disusul Filipina dengan 402.820. Indonesia juga mencatatkan angka kematian tertinggi di kawasan sebanyak 14.933 orang, sementara Filipina sebanyak 7.721, demikian data yang dihimpun Worldometer.
Penandatanganan RCEP
Pertemuan KTT ke-37 ASEAN akan ditutup dengan agenda penandatanganan pakta perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang diikuti oleh negara-negara ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Cina.
Penandatanganan tersebut menandakan berakhirnya proses perundingan yang berlangsung sejak delapan tahun silam untuk selanjutnya memasuki proses ratifikasi oleh masing-masing negara anggota.
Presiden Jokowi menyebut RCEP sebagai salah satu jalan untuk membantu pemulihan ekonomi di kawasan, “Kita harus buktikan bahwa integrasi ekonomi yang sangat besar ini akan membawa manfaat bagi rakyat kita," kata Jokowi dalam sesi pembukaan KTT.
RCEP yang dimotori Cina disebut sebagai pakta perdagangan tandingan dari Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) yang sebelumnya digagas AS - namun ditinggalkan oleh Presiden Donald Trump saat masa pemerintahannya, karena menguasai 29 persen produk domestik bruto (PDB) global.
Sementara, TPP yang juga beranggotakan sebagian negara ASEAN dan Pasifik, mengantongi 40 persen PDB global.
India juga sempat bergabung dalam perundingan RCEP namun memutuskan untuk keluar dari kemitraan tersebut pada November 2019. Seorang diplomat senior Kementerian Luar Negeri India ketika itu menyebut keputusan untuk keluar dari RCEP semata-mata untuk melindungi rakyat berpenghasilan rendah dari ancaman banjirnya produk Cina ke negerinya.