Indonesia peringatkan ASEAN tentang bahaya nuklir
2023.07.11
Jakarta
Ketua ASEAN Indonesia mengatakan pada hari Selasa bahwa risiko penggunaan senjata nuklir di Asia Tenggara lebih tinggi saat ini dibandingkan sebelumnya dan mendesak negara-negara dengan persenjataan nuklir untuk menandatangani perjanjian berusia 30 tahun yang berupaya mempertahankan wilayah tersebut bebas dari nuklir.
Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada pertemuan Komite Eksekutif Komisi Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) di Jakarta, Selasa (11/7).
"Kita tentu mengetahui bahwa kita tidak bisa benar-benar aman dengan keberadaan senjata nuklir di kawasan kita," ujar Retno.
"Tak ada senjata yang lebih kuat dan merusak dibandingkan senjata nuklir. Dengan senjata nuklir, sebuah salah perhitungan pun dapat menyebabkan kiamat dan bencana global," kata Retno.
Retno menegaskan ASEAN harus bisa mendorong upaya pengurangan senjata nuklir yang saat ini terancam akibat sejumlah konflik yang pecah di beberapa kawasan. Menurutnya, risiko penggunaan senjata itu belakangan meningkat drastis jika dibandingkan masa lalu.
"Ancaman penggunaan senjata nuklir (meningkat) dalam sejarah dan kita telah diberi peringatan langsung soal penggunaan senjata nuklir. Kita juga melihat beberapa doktrin militer negara lain masih menggunakan senjata nuklir, termasuk di kawasan kita," kata Retno
Perjanjian tersebut, yang ditandatangani oleh 10 anggota ASEAN pada tahun 1995, melarang anggota perhimpunan negara-negara Asia Tenggara untuk mengembangkan, membuat, memiliki, menguji, atau menggunakan senjata nuklir di dalam zona yang mencakup wilayah darat, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.
Perjanjian tersebut juga memiliki protokol yang meminta China, Prancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat untuk berkomitmen mematuhi perjanjian dan tidak menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir di dalam zona tersebut.
Tetapi tidak satu pun dari negara berkekuatan nuklir yang menandatangani protokol tersebut, karena sejumlah keberatan atas ruang lingkup dan verifikasi perjanjian tersebut.
Beberapa dari mereka juga berpendapat bahwa perjanjian tersebut melanggar hak mereka untuk transit dan berlayar di perairan internasional karena dimasukkannya landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
"Kita (ASEAN) harus bersatu menghadapi negara bersenjata nuklir ini. Ini satu-satunya cara kita bisa menempa jalan yang lebih jelas menuju wilayah yang bebas senjata nuklir," tambah Retno.
Sebagai bagian dari rangkaian pertemuan tingkat menteri ASEAN, para menteri luar negeri blok regional juga akan mengadakan pembicaraan dengan mitra dialog termasuk China, Rusia dan Amerika Serikat akhir pekan ini.
Berbicara secara terpisah pada pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah ASEAN, Retno mengatakan blok itu tidak boleh goyah dalam menekan isu-isu hak asasi manusia di wilayahnya sendiri terlepas dari kompleksitas di lapangan dan perbedaan di antara para anggotanya.
“Dialog Hak Asasi Manusia ASEAN adalah bukti kedewasaan ASEAN untuk terlibat dalam dialog yang jujur dan terbuka tanpa menyebut nama dan mempermalukan,” kata dia.
“Oleh karena itu penting untuk dilakukan secara teratur. Karena itu kami bertujuan untuk Deklarasi Para Pemimpin tentang Dialog Hak Asasi Manusia ASEAN,” katanya.
ASEAN harus bersatu dalam menolak politisasi hak asasi manusia dan standar ganda sambil membuktikan kemampuannya untuk mengatasi masalah dalam wilayah sendiri, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Salah satu masalah hak asasi manusia yang paling mendesak di wilayah ASEAN sendiri adalah krisis di Myanmar, di mana kudeta militer pada Februari 2021 telah menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan yang mematikan.
Lebih dari 3.000 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dan hampir 24.000 ditangkap sejak kudeta, menurut kelompok hak asasi manusia.
ASEAN telah berusaha untuk menyelesaikan konflik melalui konsensus lima poin yang mencakup penghentian segera kekerasan dan dialog di antara semua pihak yang bertikai.
Tetapi pemerintah militer Myanmar sebagian besar mengabaikan rencana tersebut, sehingga ASEAN memboikot para pemimpin militer Myanmar dari pertemuan tingkat tinggi.
Krisis Myanmar diperkirakan akan mendominasi diskusi akhir pekan ini ketika Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan diplomat top lainnya bergabung dengan menteri luar negeri ASEAN sebagai mitra dialog.
AS dan sekutunya telah menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar dan menyerukan pemulihan demokrasi, sementara China dan Rusia lebih berhati-hati dan mendesak penghormatan terhadap kedaulatan Myanmar.
ASEAN telah berusaha menjembatani kesenjangan antara kekuatan saingan dan membujuk mereka untuk mendukung rencana perdamaiannya.
Indonesia, sebagai ketua ASEAN tahun ini, telah terlibat dalam "diplomasi diam-diam" yang sibuk dengan berbagai pemangku kepentingan di Myanmar, termasuk militer, oposisi Pemerintah Persatuan Nasional, kelompok etnis bersenjata, dan kelompok masyarakat sipil.
Retno mengatakan pekan lalu bahwa Indonesia telah melakukan 110 kegiatan (engagement) “dalam bentuk pertemuan tatap muka, pertemuan virtual, dan panggilan telepon” dengan perwakilan Myanmar. Dia mengatakan Indonesia berharap dapat melihat kemajuan dalam implementasi rencana ASEAN sebelum akhir tahun.
'ASEAN tidak punya kekuatan memaksa'
Radityo Dharmaputra, dosen hubungan internasional di Universitas Airlangga, mengatakan Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, dan Prancis tidak bersedia menandatangani traktat SEANWFZ karena perjanjian itu meminta kelima negara tersebut tidak saling menggunakan senjata nuklir pada sesama penandatangan dan juga di kawasan Asia Tenggara.
“Sementara itu, setiap negara pemegang nuklir ini punya kepentingan di kawasan, apalagi saat ini dengan kompetisi antarmereka,” kata Radityo kepada BenarNews.
“Senjata nuklir adalah alat deterrence atau penggentar, yang bisa membuat negara lain batal melakukan sesuatu,” kata dia.
Dia mengatakan bahwa setiap negara bersenjata nuklir memiliki kepentingannya sendiri di Asia Tenggara, terutama di tengah persaingan di antara mereka atas isu-isu seperti perdagangan, hak asasi manusia dan sengketa wilayah.
Radityo menambahkan bahwa tidak ada kekuatan nuklir yang bersedia dirugikan oleh ketidakmampuan mereka menggunakan senjata nuklir jika terjadi konflik atau ketegangan. “Makanya belum ada yang tanda tangan,” ujarnya.
Meski salah satu dari mereka akan menandatangani di masa depan, kata Radityo, harus ada kepastian bahwa yang lain akan melakukan hal sama. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa begitu mereka menandatanganinya, mereka akan mematuhi perjanjian tersebut.
“Dalam konteks SEANWFZ, walau ASEAN sudah satu suara, tapi ASEAN tidak punya cukup kekuatan untuk memaksa atau minimal mendorong negara-negara besar untuk mau menandatangani. Karena kekhawatiran di atas tadi,” kata Radityo.