Pengamat: Masukan Ali Imron Bermanfaat Untuk Pansus DPR

Arie Firdaus
2016.08.26
Jakarta
anti-terror-620.jpg Luhut Binsar Pandjaitan (tengah) ketika masih menjabat Menko Polhukam berbincang dengan Ali Imron (kiri) dalam suatu acara di Jakarta, 28 Juni 2016.
Lintang Sulastri/BeritaBenar

Masukan dari terpidana kasus Bom Bali I Ali Imron dianggap bermanfaat untuk Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat (Pansus DPR) yang sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme).

Ali Imron memberikan keterangan secara tertutup di depan Pansus DPR atas inisiatif Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Suhardi Alius.

"Saya rasa itu (kehadiran Ali Imron) bagus," ungkap pengamat terorisme, Ansyaad Mbai kepada BeritaBenar, Jumat, 26 Agustus 2016.

Sebagai seorang teroris yang dianggap telah sadar, lanjut Ansyaad, kehadiran Ali Imron bisa bermanfaat karena memberikan perspektif kepada Pansus DPR perihal bagaimana kelompok teroris bekerja mempengaruhi orang lain dan menyusun aksi.

"Sehingga nantinya DPR ada gambaran, misalnya, apa yang harus diatur dalam UU," kata Ansyaad, yang juga mantan Kepala BNPT. "Jadi, kehadiran Ali Imron itu penting sekali. Cerita dia layak didengar."

Pendapat senada disampaikan pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie yang menilai kehadiran Ali Imron dapat memperkaya perspektif anggota Pansus DPR dalam menyusun revisi UU Antiterorisme.

"Karena banyak hal yang bisa dipelajari dari dia," katanya.

Manfaat yang bisa diambil dari mendengarkan masukan Ali Imron, seperti pencegahan warga Indonesia yang berjihad di luar negeri atau mengukur batasan ujaran kebencian (hate speech) di ruang publik. Ali Imron, tambah Taufik, berpengalaman dalam kedua hal itu.

"Ia, kan, mantan foreign fighter," tegas Taufik.

"Dulu juga rajin menyebarkan propaganda dan kebencian lewat ceramahnya. Dia paham bagaimana rekrutmen dan propaganda sehingga DPR bisa belajar dan menyusun aturan yang tepat untuk mengaturnya."

Hadang penularan radikalisme

Ali Imron hadir dalam rapat tertutup Pansus DPR, Kamis, 25 Agustus 2016, bersama Kepala BNPT Suhardi Alius. Rapat dengar pendapat ini merupakan bagian dari Pansus DPR menggodok revisi UU Anti-Terorisme.

Perihal kehadiran Ali Imron, Suhardi menyebutnya sebagai langkah untuk membantu memperkaya perspektif DPR sebelum menetapkan rancangan ini menjadi undang-undang.

"Karena bisa saja ada yang luput dalam pembahasan," ujar Suhardi.

Ali Imron mengatakan bahwa kehadirannya di rapat Pansus DPR untuk menceritakan pengalamannya selama beriteraksi dan tergabung dengan kelompok teroris.

Menurutnya, propaganda dan hate-speech yang dihadirkan lewat ceramah memang mempengaruhi perkembangan kelompok teror.

"Bertambahnya orang-orang yang terlibat itu (radikal dan terorisme) karena ceramah, kalau tidak ada peraturan atau hukum semakin hari semakin bertambah," ujar Ali Imron seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Adik Imam Samudera itu menilai harus ada aturan terkait ujaran kebencian terkait terorisme sehingga penularan keyakinan radikal bisa dihadang.

"Harus ada pencegahan. Itu berbahaya," katanya.

Ali Imron adalah salah seorang pelaku serangan Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang. Dia divonis hukuman penjara seumur hidup. Dalam beberapa bulan terakhir, Ali Imron sering diajak dalam program deradikalisasi.

Tak mau tergesa-gesa

Anggota Pansus RUU Anti-Terorisme DPR Asrul Sani mengatakan keterangan Ali Imron akan dipertimbangkan dalam menggodok revisi UU Anti-Terorisme sebelum disahkan menjadi undang-undang, khususnya terkait peran ujaran kebencian dalam penularan paham radikal.

"Kami diskusikan dulu," jelas Asrul.

Saat ini, Indonesia memang belum punya dasar hukum tentang ujaran kebencian terkait terorisme. Masalah yang mengatur itu kini termaktub di Pasal 13A RUU Anti-Terorisme.

Pasal ini berbunyi, setiap orang yang sengaja menyebarkan ucapan, sikap, atau perilaku, tulisan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme dipidana dengan penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.

Perihal pencantuman ujaran kebencian dalam revisi UU Anti-Terorisme itu, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilainya salah sasaran. Menurutnya, pasal itu berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan hak hidup kelompok yang kritis terhadap pemerintah.

"Karena pada praktiknya nanti bisa dijadikan alasan untuk mengkriminalkan orang yang sebenarnya tak melakukan tindak pidana," kata Al Araf.

Selain itu, beberapa pasal lain masih diperdebatkan. Salah satunya mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia yang termuat di pasal 43B. Beberapa pihak menolak pasal ini lantaran berpotensi menggiring penyelesaian masalah terorisme lewat cara militeristik dan kekerasan.

Terkait penolakan itu, Asrul tak mempermasalahkannya. Sampai kini, Pansus RUU Anti-Terorisme masih dalam tahap mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait, sebelum akhirnya mengesahkan rancangan ini menjadi undang-undang.

Ia mengaku tak risau jika kemudian penyelesaian RUU Anti-Terorisme molor dari jadwal yang dipatok sebelumnya, yaitu Oktober 2016.

”Dengan dinamika yang ada sekarang, tak mungkin (Oktober)," tutur Asrul. “Tak perlu tergesa-gesa.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.