Buntut aniaya relawan Ganjar-Mahfud, 6 anggota TNI jadi tersangka
2024.01.02
Jakarta
Polisi Militer Surakarta pada Selasa menetapkan enam prajurit TNI sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap sejumlah relawan capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud MD di Boyolali, Jawa Tengah, baru-baru ini.
"Pomdam IV/Diponegoro memastikan bahwa proses hukum tetap berjalan transparan dan adil, kata Kepala Penerangan Kodam IV Diponegoro Kolonel Richard Harison Richard kepada jurnalis, Selasa (2/1), terkait enam tersangka yang kesemuanya berpangkat prajurit dua.
Enam tentara itu disebut telah melakukan penganiayaan terhadap pengendara sepeda motor yang memeriahkan kampanye Ganjar-Mahfud di Boyolali, Jawa Tengah pada Sabtu, 30 Desember 2023.
Akibat penganiayaan tersebut, tujuh orang relawan mengalami luka-luka, dua menjalani perawatan intensif di RSUD Pandan Arang Boyolali dan yang lainnya menjalani rawat jalan.
“Kami minta masyarakat tenang, percaya serta menghormati segala langkah proses hukum yang saat ini sedang berlangsung demi terciptanya keadilan yang seutuhnya,” ujar Richard.
Sebelumnya Komandan Polisi Militer Kodam IV Diponegoro Kolonel CPM Rinoso Budi mengatakan pihaknya mengamankan 15 anggota TNI yang diduga terlibat dalam penganiayaan tersebut.
Mereka melakukan pemukulan itu karena merasa terganggu dan tersalut emosinya karena suara keras dari knalpot sepeda motor yang dimodifikasi oleh para relawan saat melintas di depan Markas Kompi 8 Yonir Raiders 408, kata Rinoso.
“Kami akan terus memberikan informasi terkait penanganan kasus pelanggaran tersebut,” ujar Richard.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigjen Kristomei Sianturi dalam keterangan tertulis pada Senin (1/1) tentang kronologi kejadian itu mengatakan bahwa relawan kampanye Ganjar dan Mahfud MD yang mengendarai sepeda motor dengan suara knalpot yang memekakkan telinga melintas di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/SBH dimana sejumlah tentara sedang bermain voli.
Karena dianggap mengganggu, para anggota TNI yang bermain voli itu menghentikan rombongan dan menegur mereka. Pemberhentian oleh anggota TNI itu justru mendapatkan perlawanan massa pengendara motor, hingga terjadi adu mulut dan berujung kepada tindak kekerasan fisik, demikian surat keterangan itu.
Namun video yang beredar luas di masyarakat memperlihatkan sejumlah fakta yang sedikit berbeda, dimana dalam video tersebut tampak sejumlah anggota TNI yang berpakaian sipil langsung menghadang dan menganiaya pengendara sepeda motor, seperti yang diunggah oleh pemilik akun X @yradianto.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Susetya Kusuma juga menyampaikan hal yang berbeda seperti dikutip Solopost. Ia menyebut peristiwa penyerangan relawan Ganjar-Mahfud terjadi dua kali.
Pertama, sekitar pukul 10.00 WIB, relawan Ganjar-Mahfud yang melintas ke arah barat naik sepeda motor dilempari batu, dihadang dan dipukul dengan bambu.
Satu jam kemudian, sekitar pukul 11.19 WIB relawan Ganjar-Mahfud dihadang, dipukul, ditendang, dan diseret ke dalam markas.
PDIP protes
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menduga ada penyerangan terhadap relawan-relawannya. Penganiayaan itu terjadi bukan karena ada kesalahpahaman seperti yang diungkapkan oleh Dandim Boyolali, Letkol Inf. Wiweko Wulang Widodo.
Dia mendesak aparat TNI-Polri termasuk aparat Presiden harus netral dalam Pemilu 2024.
“Kami berharap hal itu menjadi pelajaran kita yang terbaik. Tidak boleh terjadi lagi aparat TNI-Polri, dan aparat Presiden. Negara harus, harus, haruslah netral, terlebih Panglima TNI dan Kapolri juga sudah menandatangani deklarasi damai pakta integritas terhadap satu kesatuan antara pernyataan dan perbuatan,” ungkap Hasto dalam siaran pers, Selasa (2/1).
“Ini yang kami harapkan, sehingga dengan rekam jejak sejarah TNI dan Polri yang luar biasa, kami percaya sebagai institusi akan netral, hanya ada oknum-oknum yang memiliki loyalitas buta,” lanjut dia.
Badan Bantuan Hukum dan Advokasi PDIP, Paskaria Tombi, meminta proses hukum terhadap enam orang tentara itu berjalan transparan dan tuntas.
“Kami meminta kepada Bapak Panglima TNI untuk dapat memproses hukum kepada para pelaku secara transparan,” jelas dia.
Gagal jaga netralitas TNI
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis mengatakan tindakan kekerasan oleh anggota TNI itu merupakan kesewenang-wenangan hukum karena penindakan pelanggaran lalu lintas merupakan tugas polisi atau dinas perhubungan, bukan TNI.
“Tindakan main hakim sendiri oleh anggota TNI tentunya tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun dan harus dilakukan penindakan yang tegas secara institusional,” ujar Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, yang merupakan salah satu anggota Koalisi, kepada BenarNews.
Koalisi menilai Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat gagal menjaga netralitas TNI dalam Pemilu 2024. Apalagi sebelumnya juga ramai diberitakan adanya dugaan kuat keterlibatan personel TNI dalam pemasangan alat peraga kampanye.
Lalu ajudan Menteri Pertahanan Mayor TNI Teddy Widjaja yang ikut dalam barisan tim sukses Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam debat Pilpres 2024 pada 22 Desember lalu dengan kostum serupa serta menunjukkan simbol-simbol dukungan kampanye paslon tersebut.
"Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR untuk mengevaluasi dan mencopot Panglima TNI dan KSAD yang gagal mengontrol anggota, sehingga terjadi penganiayaan dan gagal menjaga citra TNI untuk bersikap netral dalam Pemilu 2024," tulis Koalisi dalam pernyataan tertulisnya.
Peneliti militer dari Marapi Consulting, Beni Sukadis, mengatakan penganiayaan ini harus dilihat lebih utuh. Pemicu kejadian ini teridentifikasi adalah rombongan pemotor pendukung Ganjar-Mahfud yang dianggap mengganggu ketertiban publik dengan suara bising dari knalpot sepeda motornya.
“Ketika rombongan melewati instalasi militer tentu ditegur personal TNI, tapi rombongan tidak terima hingga terjadi pertikaian yang berujung tindak pemukulan terhadap pemotor,” ujar dia.
Namun pemukulan ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dan melanggar pidana.
Menurut dia, kasus ini tidak berhubungan dengan netralitas TNI, namun hanya pelanggaran hukum dari kedua belah pihak.
“Satu melanggar hukum ringan dengan penggunaan knalpot yang berisik sehingga mengganggu ketertiban, sementara oknum TNI melakukan tindak pidana juga dalam pemukulan itu,” ujar dia.