Amnesty Indonesia: Kebebasan sipil di Indonesia merosot
2023.03.28
Jakarta
Kebebasan sipil di Indonesia terus mengalami kemerosotan seiring pengesahan undang-undang represif, berlanjutnya kekerasan oleh aparat, dan impunitas pelaku yang tinggi, demikian laporan lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International yang dirilis pada Selasa (28/3).
Dalam laporan tahunan yang juga memotret kondisi kebebasan sipil secara global tersebut, Amnesty International menyatakan bahwa Papua masih menjadi lokasi penggunaan kekerasan berlebih oleh aparat keamanan kala meredam protes.
Jurnalis dan aktivis pun masih menjadi sasaran utama persekusi fisik dan digital, sementara penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap marak sebagai alat pembungkam kritik, kata peneliti Amnesty International di Indonesia, Saufa Ata Taqiyya.
"Insiden-insiden yang terjadi pada tahun 2022, sayangnya tidak berhenti dan masih berlanjut hingga tahun ini," kata Saufa dalam pemaparannya.
"Soal revisi UU ITE yang menjadi catatan masyarakat sipil karena dapat mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan Jokowi pernah sampaikan komitmen revisi pada 2021, tapi sampai 2022 hal itu (revisi) enggak terjadi."
Dalam kejadian terbaru, aktivis Heri Budiawan, alias Budi Pego, ditangkap pada pekan lalu untuk menjalani putusan Mahkamah Agung (MA) yang menambah hukumannya menjadi 4 tahun penjara pada 2018 atas tuduhan yang tidak berdasar terkait menyebarkan propaganda komunisme dalam aksi menentang tambang emas di desanya di Banyuwangi.
Sebelumnya dia divonis 10 bulan penjara di Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Sepanjang 2022, Amnesty mencatat terdapat 53 penyerangan fisik, digital, dan serangan lain terhadap 63 jurnalis; 35 serangan fisik dan digital terhadap 150 pembela hak asasi.
Adapun sepanjang Januari 2019 hingga awal 2022 tercatat 328 kasus serangan fisik dan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil, dengan korban mencapai 834 orang.
Impunitas terhadap aparat sepanjang 2022 tercatat 36 kasus pembunuhan, sementara pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua dan Papua Barat sejak Februari 2018 hingga laporan dirilis tercatat sebanyak 105 kasus, kata laporan Amnesty.
Sejumlah peristiwa yang menjadi indikator kemerosotan kebebasan sipil di Indonesia oleh Amnesty, antara lain, pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang memuat kembali hukuman penjara karena menghina presiden dan wakil presiden, pemerintah, lembaga negara lain, dan pidana bagi demonstrasi tanpa izin.
Rangkaian aturan tersebut berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai, serta mendiskriminasi kelompok marjinal, kata Saufa.
Adapula penyerangan oleh aparat terhadap warga Desa Wadas di Jawa Tengah yang menolak penggalian tambang batu andesit pada 8 Februari 2022 serta penembakan hingga tewas seorang pria 21 tahun bernama Erfaldi saat memprotes penambangan emas di Kabupaten Parigi Moutong di Sulawesi Tengah.
Pada 1 Oktober 2022, aparat kepolisian juga menembakkan gas air mata yang menyebabkan kepanikan suporter di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang menyebabkan 135 orang meninggal dan melukai 433 orang lainnya.
Pemerintah telah membentuk tim independen guna menyelidiki kasus tersebut dan berujung penetapan tujuh orang sebagai tersangka, namun belakangan empat dari mereka hanya dijatuhi vonis ringan dan tersangka lainnya bebas.
Selain itu, ada 12 aktivis Papua yang dituntut jalani proses pidana karena mengekspresikan pendapat mereka secara damai. Di samping itu, ada 46 orang dituntut dengan UU ITE karena ekspresikan pandangannya di dunia maya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian mengamini laporan Amnesty yang menilai kebebasan sipil di Indonesia mengalami kemerosotan.
Ia merujuk pada beberapa temuan kasus lain di komisi, salah satunya seorang pria di Balige, Sumatra Utara yang dijerat dua kali untuk pidana serupa.
"Enggak masuk nalar itu (bisa dipidana kasus sama dua kali). Jadi kalau disebut deokrasi di Indonesia merosot, kasus itu tadi langsung ada dalam bayang saya," kata Saurlin, menanggapi laporan Amnesty.
Perihal terus merosotnya kebebesan sipil di Indonesia, Saruli berpendapat hal tersebut disebabkan oleh tidak berkembangnya demokrasi karena masih diisi tokoh politik dan ekonomi yang sama sebelum era reformasi.
"Masih tersentralistik di tangan-tangan besar yang enggak kasih ruang untuk hidup. Itu membuat demokrasi menjadi turun," ujarnya.
Peneliti dari Australian National University, Sana Jaffrey, menilai kemunduran demokrasi di Indonesia disebabkan tidak adanya mekanisme checks and balances yang kuat.
Ia merujuk pada peran oposisi di parlemen yang dinilainya hampir tidak ada sejak 2008 serta diperlemahnya partisipasi masyarakat dalam aksi demonstrasi. Padahal mekanisme tersebut dibutuhkan demi akuntabilitas kebijakan pemerintah.
“Ini harus kuat. Sedangkan yang saya lihat sejak 2008 peran oposisi menjadi berkurang dan ini menjadi kekhawatiran sendiri, karena muncul istilah kartelisasi partai politik,” kata Jaffrey.
“Ada upaya sistematis untuk menghambat. Fungsi demokrasi itu jadi tidak berjalan. Kemampuan masyarakat untuk itu sangat lemah.”
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan pemerintah memang cenderung mengakomodir pengusaha dalam membuat sebuah kebijakan, alih-alih melibatkan masyarakat.
Hasilnya, terang, Bivitri, aturan yang diterbikan cenderung menguntungkan korporasi tertentu.
Sebagai langkah memperbaiki kebebasan sipil di Indonesia, Bivitri menyarankan perombakan partai politik dan aturan pemilu umum yang bisa menfasilitasi pembentukan parlemen yang bersih dan menghasilkan aturan hukum yang menghormati HAM.
"Ketika kita berbicara HAM, itu kan dipengaruhi aktor politik yang membuat regulasi. Tapi selama ini hukum kan dibekap orang-orang yang memiliki kepentingan," ujar Bivitri.
BenarNews menghubungi Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin terkait laporan Amnesty, tapi tak beroleh balasan.