Aktivis pro-kemerdekaan Papua ditemukan tewas tenggelam

Filep Karma dipenjara satu dekade lebih karena aksi mengibarkan bendera Bintang Kejora lambang kemerdekaan Papua.
Victor Mambor dan Nazarudin Latif
2022.11.01
Jayapura dan Jakarta
Aktivis pro-kemerdekaan Papua ditemukan tewas tenggelam Tokoh pejuang kemerdekaan Papua, Filep Karma, berbicara setelah dibebaskan dari penjara, di Papua, 19 November 2015.
[Indrayadi TH/Antara Foto/Reuters]

Ribuan warga Papua menyambut jenazah tokoh pejuang kemerdekaan dan mantan tahanan politik Filep Karma, yang ditemukan tewas Selasa pagi (1/11) di pantai Jayapura.

Polisi dan keluarga mengatakan bahwa Filep, 63, meninggal karena tenggelam setelah visum menunjukkan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

“Saya mengikuti proses visum luar dan berdasarkan visum luar, Bapak meninggal karena tenggelam saat menyelam,” kata anak kedua Filep, Andrefina Karma.

Filep pernah divonis 15 tahun penjara karena terlibat dalam upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, bendera Gerakan Papua Merdeka, pada tanggal 1 Desember 2004.

Dia dibebaskan pada November 2015 setelah menjalani hukuman lebih dari 10 tahun.

Jenazah Filep ditemukan sekitar pukul 05.00 WIT di Pantai Base-G Distrik Jayapura Utara.

Filep belakangan ini sering menyelam di sekitar Pantai Base-G, kata keluarga dan rekannya. Tahun lalu dia hanyut dan ditemukan selamat oleh warga di Pantai Skouw, dekat perbatasan Indonesia dan Papua Nugini.

Kapolresta Kota Jayapura, AKBP Victor Makbon, mengatakan visum luar tidak mendapatkan adanya tanda-tanda kekerasan.

“Kami turut berdukacita atas kepergian Bapak Filep Karma. Mohon tidak usah membuat statemen sebelum ada kejelasan secara aturan,” kata Victor pada BenarNews.

“Kami pihak kepolisian telah mengevakuasi Korban ke RS Bhayangkara, mengamankan TKP (tempat kejadian perkara) dan lakukan penyelidikan," tambahnya.

Penina Karma, adik kandung Filep, mengetahui kabar meninggalnya kakaknya setelah foto penemuan jenazah beredar di sosial media.

“Setelah kami melihat informasi tersebut lalu, kami berdoa bersama keluarga. Saya telepon adik di Jayapura untuk pastikan foto yang beredar itu benar kakak kami,” kata Penina.

Ribuan warga Papua datang ke RS Bhayangkara dan memenuhi jalan-jalan di Kotaraja, Jayapura. Mereka ingin melihat jenazah tokoh itu untuk terakhir kalinya dan mengantar ke rumah almarhum di daerah Dok V.

“Kami memang datang untuk jemput jenazah Bapak, untuk dibawa ke rumah duka di Dok V,” kata Domi Lani, seorang warga Kota Jayapura.

Domi dan ribuan warga lain datang ke rumah sakit setelah mendengar kabar jenazah almarhum dibawa ke RS Bhayangkara untuk keperluan pemeriksaan.

Direktur Eksekutif Gerakan Bersatu untuk Pembebasan Papua Barat (ULMWP – United Liberation Movement for West Papua), Markus Haluk, mengatakan kematian Filep adalah kehilangan besar bagi warga Papua.

“Filep Karma adalah salah satu pejuang pembebasan Papua yang konsisten. Hidupnya didedikasikan untuk bangsa dan rakyat Papua. Dia bahkan rela menjalani hidup di penjara karena memperjuangkan kemerdekaan Papua. Kami merasa sangat kehilangan,” ungkapnya.

Ribuan warga memenuhi jalan di Kotaraja menuju ke RS Bhayangkara untuk memberikan penghormatan kepada jenazah tokoh pro-kemerdekaan Papua, Filep Karma, yang ada di sana, sebelum mengantar jenazah ke rumah duka di Jayapura, 1 November 2022. [Victor Mambor/BenarNews]
Ribuan warga memenuhi jalan di Kotaraja menuju ke RS Bhayangkara untuk memberikan penghormatan kepada jenazah tokoh pro-kemerdekaan Papua, Filep Karma, yang ada di sana, sebelum mengantar jenazah ke rumah duka di Jayapura, 1 November 2022. [Victor Mambor/BenarNews]

Perlu selidiki penyebab kematian

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan aparat penegak hukum perlu menyelidiki sebab musabab kematian Filep.

Menurut dia penyelidikan penting untuk menjawab ada tidaknya indikasi tindak pidana atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di balik kematiannya.

“Karena banyak aktivis yang vokal di Papua menjadi sasaran kekerasan. Terlebih mengingat sepak terjang almarhum sebagai tokoh panutan dalam membela hak asasi orang asli Papua,” ujar dia.

Anggota Komisi Nasional (Komnas) HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan dia mendapatkan informasi bahwa keluarga sudah memastikan bahwa Filep meninggal karena tenggalam dan bukan karena yang lain.

“Jadi baiknya kita hormati statemen pihak keluarga dan tidak berspekulasi sembari berdoa semoga almarhum Pak Filep mendapat tempat terbaik,” ujarnya.

Aktivis antikekerasan

Menurut Amnesty International, selama mendekam dalam penjara atas vonis bersalah karena terlibat dalam pengibaran bendera Bintang Kejora itu, Filep pernah mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, termasuk tidak diberi akses medis yang layak.

Filep, seorang mantan pegawai negeri sipil dan anak mantan bupati Wamena Andreas Karma dikenal sebagai aktivis pro-Papua Merdeka yang memilih jalan anti kekerasan dalam perjuangannya.

Filep pernah memimpin aksi damai rakyat Papua untuk menyuarakan referendum penentuan nasib sendiri di Kota Biak pada 2-6 Juli 1998 yang diakhiri dengan tindakan represif aparat.

Menurut investigasi kelompok advokasi HAM Elsham tahun 1999, setidaknya delapan warga Papua tewas di tangan petugas keamanan dan tiga lainnya hilang dalam kejadian yang dikenal sebagai Tragedi Biak Berdarah itu. Puluhan lainnya mengalami luka-luka.

“Penduduk disuruh berbaris menuju pelabuhan. Sampai di pom bensin, mereka disuruh lepas baju dan merayap hingga ke pelabuhan kapal. Siapa pun yang haus disuruh minum air kubangan,” kata Filep dalam sebuah wawancara dengan media di Papua pada 2020.

“Tentara bersenjata lengkap jadi barisan penebar teror. Saya mendengar cerita kalau penduduk diminta naik ke kapal TNI AL. Tak tahu mereka berlayar ke mana. Terakhir dapat kabar banyak mayat dimutilasi dan dibuang ke laut,” ungkapnya.

Tolak grasi Presiden Jokowi

Filep tak pernah mengakui bahwa dirinya bersalah atas perjuangan memerdekakan Papua yang ia lakukan, termasuk aksinya mengibarkan Bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora Jayapura, yang membuatnya divonis 15 tahun penjara pada 2004.

Oleh karena itu ia menolak grasi yang diberikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tahun 2015.

“Kalau saya tandatangani, itu berarti saya mengaku bersalah. Saya tahunya saya akan bebas pada tahun 2019. Karena saya menolak semua remisi,” kata Filep dalam wawancara dengan media di Papua.

Sekretaris Forum Mantan Tahanan Politik dan Narapidana Politik Papua ini bahkan menganggap dirinya dipaksa keluar dari penjara untuk kepentingan membersihkan nama Indonesia di publik internasional.

“Mereka paksa saya keluar dari penjara karena saya tidak mau menerima grasi itu,” kata Filep.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.