Aktivis antikorupsi desak reformasi KPK usai skandal pemerasan
2024.01.16
Jakarta
Aktivis antikorupsi menyerukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direformasi atau diganti dengan lembaga baru setelah dewan pengawas mengungkap bahwa hampir 100 pegawainya terlibat dalam pungutan liar di rumah tahanan lembaga antirasuah itu.
Para aktivis mengatakan bahwa KPK telah kehilangan integritas dan kemandirian di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, yang baru-baru ini dinyatakan bersalah melanggar kode etik dan mengundurkan diri sebagai ketua.
Dewan Pengawas mengumumkan awal minggu ini bahwa mereka akan mulai menggelar sidang etik pada Rabu terhadap 93 pegawai KPK yang diduga menerima suap setidaknya Rp 4 miliar dari tahanan sebagai imbalan fasilitas tambahan seperti ponsel dan makanan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan problematika integritas memang menjadi permasalahan utama di KPK, terutama setelah Firli memimpin lembaga tersebut.
"Sulit dipungkiri bahwa praktik pungli puluhan pegawai itu disebabkan faktor ketiadaan keteladanan di KPK," ujar Kurnia, sembari menambahkan bahwa dari lima pimpinan KPK periode 2019-2024, dua di antaranya sudah terbukti melanggar kode etik berat.
Ia berharap, sidang etik ini dapat menjadi peluang untuk perbaikan KPK.
"Selain melakukan reformasi total pengawasan di internal lembaga, KPK juga harus memastikan rekrutmen pegawai mengedepankan integritas," ujar Kurnia.
Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris mengatakan sidang etik ini hanya akan menilai aspek pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para pegawai, bukan aspek pidana.
"Kalau pidana itu urusan lain, nanti ada penanganan terpisah," kata Syamsuddin kepada BenarNews.
Sidang etik dibagi menjadi sembilan berkas, karena para pegawai melanggar pasal kode etik yang berbeda-beda, menurut anggota Dewan Pengawas lain Albertina Ho.
Albertina merupakan orang pertama yang membongkar praktik pungli di KPK pada Juni 2023, setelah menemukan adanya dugaan perbuatan asusila petugas KPK terhadap istri seorang tahanan.
Ia mengatakan, para pegawai memeras para tahanan agar mendapat fasilitas tambahan seperti telepon selular dan makanan. Pungutan dilakukan secara tunai atau melalui rekening pihak ketiga, dengan nominal bervariasi mulai dari Rp1 juta hingga Rp500 juta per orang.
Sidang etik ini menjadi sidang kedua yang digelar Dewan Pengawas dalam sebulan terakhir, setelah sebelumnya menyatakan mantan Ketua KPK Firli Bahuri bersalah melanggar kode etik karena bertemu dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang tengah berperkara di KPK.
Firli, yang merupakan pensiunan jenderal polisi, diminta untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK karena dianggap telah menimbulkan konflik kepentingan dan merusak citra lembaga antirasuah. Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani surat pemberhentian Firli akhir bulan kemarin.
Sejumlah aktivis antikorupsi menilai, sidang etik tidak cukup untuk memperbaiki KPK. Mereka menuntut agar para pegawai yang terlibat pungli diproses hukum dan diberhentikan tidak hormat.
"Kalau tidak, bakal terus menggerogoti KPK dan membuat ketidakpercayaan masyarakat terus menurun," kata Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Skandal pemerasan ini merupakan pukulan terbaru bagi KPK, yang telah mengalami penurunan kepercayaan publik tajam dalam beberapa tahun terakhir. Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2023, tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK hanya 58,8 persen, sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
KPK, yang didirikan pada tahun 2003, dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling efektif dan independen dalam upaya Indonesia melawan korupsi. Namun, pada tahun 2019, DPR mengesahkan revisi undang-undang yang mengatur KPK, yang menurut banyak kritikus mengurangi kewenangan lembaga tersebut dan membuatnya lebih rentan terhadap pengaruh politik.
Revisi tersebut memperkenalkan dewan pengawas baru, yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permintaan penyadapan dan penyelidikan oleh KPK, dan juga menjadikan pegawai KPK sebagai aparat sipil negara di bawah lembaga eksekutif.
Pada tahun 2020, KPK melakukan tes "wawasan kebangsaan" yang kontroversial bagi pegawainya, yang bertujuan untuk menilai loyalitas mereka terhadap Pancasila dan UUD 1945. Tes tersebut mengakibatkan pemecatan 75 pegawai, banyak di antaranya dianggap penyidik yang andal dan berdedikasi tinggi.
Aktivis antikorupsi dari Themis Indonesia, Ibnu Syamsu, mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk memperbaiki KPK adalah dengan merevisi undang-undang yang mengaturnya dan melakukan tes fit and proper yang benar untuk komisioner. Dia mengatakan bahwa undang-undang saat ini telah mengurangi kewenangan dan kemandirian KPK.
"Selama UU itu tidak dikembalikan ke semula, ada fit and proper test yang baik dalam merekrut komisioner, saya pesimis KPK bisa diperbaiki," kata Ibnu kepada BenarNews.
Pernyataan lebih tegas disampaikan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
"Kalau perlu KPK yang sekarang dibubarkan dan dibuat organisasi baru karena yang sekarang sudah tidak independen lagi," kata Fickar kepada BenarNews.
>>> Ingin mengikuti informasi terkait Pemilu 2024, silakan klik di sini.