Kelompok HAM Serukan Investigasi Ulang Kasus Penyerangan Novel Baswedan
2020.06.22
Jakarta
Kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecam sidang kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan yang mereka sebut sarat sandiwara dan rekayasa dan meminta penyelidikan ulang terhadap insiden yang membuat penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengalami cedera mata permanen.
Arif Maulana, direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan pengadilan gagal membawa kebenaran karena mempertontonkan beragam kejanggalan hingga berujung pada rendahnya tuntutan kepada dua terdakwa penyerangan.
“Pengadilan ini berjalan hanya semacam sandiwara dan formalitas seolah-olah hukum bekerja untuk penanganan kasus Mas Novel. Tapi sebetulnya sejak awal hukum itu hanya digunakan sebagai legitimasi bahwa kasus ini tidak bisa mengungkap kebenaran,” kata Arif kepada BenarNews, Senin (22/6).
“Pengadilan ini memang didesain untuk gagal sejak awal,” tambahnya.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 11 April, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan kedua terdakwa, yang keduanya berprofesi sebagai polisi, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, terbukti melanggar KUHP tentang penganiayaan yang direncanakan dan meminta mereka dihukum 1 tahun penjara.
Namun argumen jaksa bahwa terdakwa tidak berniat melempar air ke keras ke muka Novel, tapi ke badannya, mendapat kecaman dan olok-olok masyarakat karena dianggap mengada-ada.
Dalam sidang lanjutan Senin, jaksa menolak pembelaan terdakwa bahwa penyerangan tidak direncanakan dan spontan, dan tetap meminta mereka dihukum 1 tahun penjara.
Jaksa mengatakan pelaku tidak sengaja menyiramkan air keras hingga mengenai mata Novel. Selain itu, Jaksa juga mempertimbangkan motif pelaku yang menyebut insiden ini terjadi karena dendam pribadi, bukan terkait dengan kasus yang tengah disidik Novel ketika itu.
Arif menilai tuntutan ringan tersebut diberikan lantaran sejak awal pengadilan tidak mengungkap alat bukti yang lengkap, bahkan menurutnya telah digelapkan.
“Kalau sejak awal sudah cacat alat bukti mana bisa menghasilkan temuan atau petunjuk siapa pelaku sebenarnya, jadinya ya tuntutan ringan itu,” kata Arif.
Selain manipulasi fakta dan alat bukti, YLBHI turut menemukan kejanggalan lain dalam persidangan, di antaranya kuasa hukum terdakwa yang berprofesi sebagai polisi aktif.
Bukan hanya itu, kepolisian juga belum menonaktifkan dua terdakwa yang sampai saat ini masih berprofesi sebagai bripka. “Terlihat sekali bahwa dalam kasus ini banyak sekali konflik kepentingannya,” kata Arif.
Kejanggalan lainnya hakim persidangan yang sangat pasif karena enggan mempertimbangan keterangan yang pernah disampaikan Novel dalam persidangan.
Dalam video yang dirilis Amnesty International (AI) Indonesia pada Senin, salah seorang saksi penyerangan menyampaikan keraguannya atas dua terdakwa yang disidangkan dalam kasus penyerangan Novel.
Menurut saksi yang tidak disebutkan namanya tersebut, ciri fisik dari dua terdakwa berbeda dengan sosok yang dilihatnya pada hari penyerangan.
“Sebenarnya saya punya harapan dipanggil ke pengadilan agar dapat mencocokkan apakah orang yang saya lihat H-1 penyerangan sama dengan dua orang yang jadi terdakwa ini,” kata saksi tersebut dalam rekaman wawancara dengan AI yang ditayangkan melalui kanal YouTube.
Menurut saksi yang diketahui sebagai tetangga Novel itu, kedua pelaku penyerangan sudah mengintai kediaman penyidik KPK tersebut sejak satu bulan sebelum kejadian penyiraman air keras.
“Yang jelas ada satu orang yang badannya gempal..tapi mohon maaf, saya rasa bukan orang itu,” sebut saksi tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai kasus penyiraman air keras terhadap Novel patut untuk diselidiki ulang dengan menyertakan keterangan saksi-saksi kunci tersebut.
“Memang sebaiknya ini dibatalkan dan dimulai dari awal sehingga proses penyelidikan lebih efektif, terbuka dan imparsial,” kata Usman kepada BenarNews, Senin.
“Pilihan untuk memulai kembali adalah dengan membentuk sebuah tim pencari fakta yang independen. Memulai dari awal lebih baik daripada melanjutkan tuntutan kepada dua orang dengan penuh keraguan,” katanya.
Sejak kasus ini mencuat, sejumlah kalangan pegiat HAM mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk membentuk tim pencari fakta independen, tanpa ada unsur kepolisian sedikitpun.
Namun, tuntutan tersebut tidak pernah terwujud hingga sekarang.
Novel: Bebaskan saja terdakwa
Dalam wawancara dengan Tribunnews, Jumat (19/6), Novel mengaku sejak awal sudah merasakan banyak kejanggalan dalam persidangan kasusnya tersebut.
“Meski sejak awal banyak kejanggalan, saya tetap saja terkejut ketika dua terdakwa hanya dituntut 1 tahun penjara. Saya tidak mengerti mengapa sampai begitunya,” kata Novel.
Novel mengaku tidak banyak yang bisa dilakukan untuk beroleh keadilan dalam kasusnya. “Apakah saya bisa banding? Tidak bisa. Apakah saya bisa proses melalui mekanisme formal? Tidak bisa. Saya hanya bisa diam,” tuturnya.
Novel bahkan menyarankan pengadilan untuk membebaskan saja kedua pelaku karena keterkaitannya tidak pernah terbukti.
“Saya juga tidak yakin kedua orang itu pelakunya. Ketika saya tanya saksi-saksi yang melihat pelaku, dibilang bukan itu pelakunya. Apalagi dalangnya? Sudah dibebaskan saja daripada mengada-ada,” tukas Novel dalam akun Twitter miliknya, Senin (15/6).
Sebaliknya, Kepala Polri ketika itu, Tito Karnavian, membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) pengungkapan kasus teror Novel bersama Komisi Nasional (Komnas) HAM. Satgas terdiri dari 65 anggota, 53 di antaranya adalah anggota kepolisian.
Boneka dalam kasus Novel
Direktur Kantor Hukum Lokataru, Haris Azhar, mengatakan dua terdakwa merupakan boneka yang sengaja dipasang untuk menutupi fakta sebenarnya.
Pendapat Haris merujuk pada hilangnya bukti rekaman CCTV dalam persidangan. “Padahal, polisi sejak awal proses penyidikan mengklaim punya rekaman CCTV di sekitar tempat kejadian perkara,” kata Haris dalam diskusi daring, Minggu.
“Nuansa rekayasa sangat kental, sebagaimana ciri pengadilan rekayasa,” tambahnya.
Arif dari YLBHI menambahkan bahwa meski pesimistis pengadilan bakal menjatuhkan vonis yang adil, pihaknya berharap Presiden Jokowi mau mendengarkan masukan berbagai pihak untuk membentuk tim investigasi independen.
“Kalau saja nanti kasus ini gagal mengungkap pelaku secara terang benderang, maka ini juga menjadi tanggung jawab dari Presiden,” tegasnya.
Selain itu, Arif juga berharap KPK juga menindaklanjuti adanya upaya menghalangi pemberantasan korupsi dalam kasus penyerangan Novel Baswedan.
“Sampai saat ini belum dilakukan KPK, padahal memang kasus mas Novel berkaitan dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK,” tukasnya.
Dalam laporan TGPF yang dibentuk polisi yang dibacakan Juli 2019, disebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi saat Novel tengah melakukan penyidikan enam kasus korupsi high profile.
Keenam kasus tersebut adalah dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kasus mantan Sekjen MA Nurhadi, kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu, kasus korupsi Wisma Atlet, dan kasus “buku merah” yang diduga melibatkan petinggi Polri saat itu.
Sementara itu, staf khusus bidang hukum kepresidenan, Dini Purwanto, mengatakan Istana menghormati seluruh proses hukum yang saat ini tengah berjalan untuk Novel Baswedan.
Dini juga menekankan bahwa Presiden Jokowi tetap berkomitmen terhadap jalannya penegakan hukum yang adil dan independen.
“Namun dalam tahap persidangan yang sedang berjalan pada saat ini, harus dipahami bahwa Presiden sebagai eksekutif tidak dapat melakukan intervensi atas kewenangan yudikatif,” tukas Dini dalam pernyataan pers pada Jumat (19/6).