Ahok Tak Ditahan, Polisi Minta Masyarakat Ikuti Prosedur Hukum
2016.11.22
Jakarta
Polisi tidak memenuhi desakan sejumlah pihak agar Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama, sementara Presiden Joko “Jokowi” Widodo menekankan kembali keseriusan pemerintah mencegah radikalisme berkembang di Indonesia.
Usai diperiksa sekitar sembilan jam di Mabes Polri, Selasa, 22 November 2016, Ahok diperkenankan pulang.
"Kita, kan, bersepakat jangan ada lagi intervensi dari manapun. Percayakan kepada Polri bahwa kasus ini akan sampai ke pengadilan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Komisaris Besar Rikwanto, kepada wartawan.
"Jadi, jangan ada lagi permintaan enggak begini, enggak begitu. Enggak akan selesai. Bantu kami agar cepat selesai."
Desakan agar Ahok ditahan karena telah berstatus tersangka, antara lain, disuarakan Sekretaris Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman, yang meminta polisi langsung menahan Ahok usai diperiksa.
Ahok tak berkomentar usai diperiksa penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Kuasa hukumnya, Sirra Prayuna, mengatakan Ahok dicecar 27 pertanyaan oleh penyidik Polri. Materinya, tak jauh berbeda dengan pertanyaan dalam pemeriksaan sebelumnya, ketika Ahok masih berstatus saksi.
"Sesungguhnya hanya menyempurnakan pemeriksaan kemarin agar membuat terang perkara," ujarnya.
Untuk langkah hukum ke depan, tambah Sirra, pihaknya bakal mengajukan 14 saksi ahli dan tujuh saksi fakta, terdiri dari warga Kepulauan Seribu yang ada saat Ahok berpidato menyitir Surat Al Maidah ayat 51, 27 September lalu.
Ahok disangkakan melanggar Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ancaman hukuman maksimal pasal pertama adalah lima tahun penjara, sedangkan pasal kedua enam tahun penjara.
Jokowi: Cegah Radikalisme
Sementara itu dalam pertemuannya dengan sejumlah pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Jokowi kembali menegaskan, pemerintah serius mencegah perkembangan paham radikal.
"Yang sangat penting, pemerintah bertekad dengan seluruh kekuatan, saya ulang, pemerintah bertekad dengan seluruh kekuatan untuk mencegah tumbuh kembangnya paham radikalisme-radikalisme di negeri kita, Indonesia," tegasnya.
Hari Selasa, Jokowi menerima kunjungan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, Ketua PPP Romahurmuzy dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Sehari sebelumnya, dia telah bertemu Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri.
Jokowi mengaku tak khawatir dengan munculnya kemungkinan makar terhadap pemerintah karena pemerintahannya adalah produk demokrasi konstitusional.
"Saya biasa-biasa saja," katanya menjawab wartawan usai bertemu Surya Paloh.
Dalam dua hari ini, Jokowi bertemu pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Jakarta. Sebelumnya, dia juga menggelar pertemuan dengan tokoh nasional dan agama serta berkonsolidasi dengan TNI/Polri. Berbagai pertemuan itu, katanya, agar masyarakat tenang.
Dibayangi makar
Proses hukum Ahok dibayangi rencana aksi bela Islam III pada 2 Desember mendatang yang digagas beberapa kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI).
Aksi Bela Islam III yang diklaim mengerahkan massa dua kali lebih besar dari aksi 4 November lalu akan berupa shalat Jumat di Jalan Sudirman dan Thamrin, Jakarta.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mempertanyakan motif aksi ini, karena menurutnya polisi telah memproses kasus Ahok sesuai prosedur dan transparan. Apalagi, jika aksi kemudian digelar dengan menutup jalan protokol.
Tito pun menyebut ada upaya makar atau penggulingan pemerintah dalam aksi 2 Desember nanti.
"Ada upaya-upaya tersembunyi dari beberapa kelompok yang ingin masuk ke DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan berusaha untuk 'menguasai' DPR. Aksi ini bagi kami, Polri dan TNI, jelas melanggar hukum," katanya, Senin, dikutip dari CNN Indonesia.
Presiden Joko "Jokowi" Widodo, dilansir laman Sekretariat Kabinet, mengapresiasi langkah Kapolri tersebut.
Ia mengatakan sudah menjadi tugas Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mewaspadai hal yang membahayakan negara.
“Tugasnya Polri dan TNI, dan semuanya harus merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang ada,” katanya.
Siasat gembosi aksi
Perihal tudingan makar, juru bicara FPI Munarman menilai kepolisian terlalu berlebihan. Menurutnya, pernyataan itu dimunculkan untuk mengancam aksi 2 Desember.
"Ada pihak yang ingin menggembosi demonstrasi," ujar Munarman kepada BeritaBenar.
Aksi Bela Islam III, tambahnya, tak lebih dari aksi damai yang diisi zikir dan istighosah.
"Tak ada aksi makar," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas meminta agar warga Muhammadiyah tak berpartisipasi dalam aksi tersebut karena tak memiliki motif yang jelas.
"Sudah tak selaras dengan demo 4 November lalu," kata Busyro saat dihubungi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan masyarakat seharusnya menyampaikan pendapat melalui pers karena lebih efektif dan memberikan citra positif bagi pendidikan demokrasi di Indonesia.
Namun jika aksi itu tetap digelar, MUI berharap para pendemo tetap damai serta tertib dan berfokus pada tema penegakan hukum kasus dugaan penistaan agama.
"Juga agar tidak menggunakan atribut atau logo MUI," kata Ketua Umum Sekretaris Jenderal MUI, Ma'ruf Amin.
Menurutnya, MUI sama sekali tak terlibat aksi nanti, meski GNPF menyematkan nama MUI di belakang nama kelompok. Ma'ruf menyebut kelompok itu tak berafliasi dengan MUI.