Pengamat: Penolakan Kampanye Ahok-Djarot Cederai Demokrasi
2016.11.17
Jakarta
Kalangan pengamat dan aktivis menilai penolakan sekelompok orang terhadap kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat, sebagai fenomena baru yang bisa mencederai demokrasi di Indonesia.
“Ini tren penolakan karena isu tertentu. Hanya karena tren like dan dislike yang sedang tumbuh, kemudian isunya sampai ke level bawah sehingga masyarakat terbawa emosi,” kata pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio, kepada BeritaBenar, Kamis, 17 November 2016.
Sejak terbelitnya Ahok atas kasus dugaan penistaan Al-Quran yang berujung dirinya ditetapkan sebagai tersangka, pasangan Ahok–Djarot kerap mendapat penolakan saat berkampanye.
Penolakan diantaranya terjadi ketika Ahok blusukan ke Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Lenteng Agung, dan Rawa Belong. Terakhir, Djarot dihadang sekelompok orang saat berkampanye di Kelurahan Cipinang, Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu lalu.
Tidak jelas apakah para penolak tersebut adalah murni warga setempat atau sekelompok orang yang dikerahkan untuk mengacaukan kampanye pasangan dengan nomor urut 2 dalam Pilkada Gubernur DKI itu.
Siti Zuhro dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan ada dua faktor penolakan, yaitu resistensi yang tinggi dari warga atau settingan pihak tertentu.
“Rekayasa bisa dilakukan demi menjatuhkan lawan atau memang settingan dari juru kampanye. Ini yang harus diselidiki,” ujarnya.
Menurut Siti penolakan kampanye seperti ini baru pertama terjadi karena dalam 1.200 Pilkada yang telah dilakukan di Indonesia tidak pernah ada.
Masih emosional
Hendri Satrio menilai, penolakan mungkin akan reda menyusul ditetapkannya Ahok sebagai tersangka dugaan penistaan agama oleh kepolisian pada Rabu, 16 November 2016.
“Mudah-mudahan bisa cepat diatasi. Sekarang kampanye masih tahap emosional bukan rasional. Kalau mendekati Pilkada pasti pola pikirnya bisa berubah rasional,” ujar Hendri.
Kasus pidato Ahok di Kepulauan Seribu 27 September lalu yang menyindir lawan politiknya karena sering menyitir Surat Al Maidah ayat 51 untuk menjegalnya, berdampak pada protes sebagian kaum Muslim yang menuduhnya melakukan penistaan terhadap Islam.
Meski Ahok telah mengatakan tidak ada maksud penistaan agama dan telah meminta maaf, sebagian masyarakat tetap tidak terima.
Puncaknya adalah unjuk rasa ratusan ribu massa Islam di Jakarta serta beberapa kota lain di tanah air pada 4 November lalu, menuntut ditangkapnya gubernur yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa itu.
Hendri menyarankan partai politik untuk segera memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
“Agar kedewasaan pemilih meningkat sehingga penolakan tidak terulang,” ujar dia, “jika edukasi publik dilaksanakan lebih awal pasti penolakan nggak terjadi.”
Hendri terutama menyesalkan penolakan dengan cara menghadang karena bisa memicu bentrok.
“Bukan hanya gerakan tapi bagaimana pemahaman masyarakat menyikapi kehadiran pasangan calon dalam berkampanye,” katanya.
Selain itu, tambah Hendri, Ahok–Djarot perlu mengubah strategi kampanye dengan cara mengundang pendukung ke suatu tempat ketimbang mendatangi lokasi tertentu.
Dalam Pilkada 15 Februari 2017, Ahok-Djarot akan bertarung melawan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno dan Agus Yudhoyono–Sylviana Murni.
Mencederai demokrasi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan penolakan kampanye adalah pelanggaran hukum karena dapat mencederai proses demokrasi.
“Berkampanye merupakan hak setiap pasangan calon. Masyarakat yang menghalang-halangi bisa diancam pidana atau denda karena melanggar UU Pilkada,” jelasnya saat diminta tanggapan.
Titi khawatir, jika terus dibiarkan, penolakan bisa menyebar ke daerah lain.
“Masyarakat menjadi abai hukum dan konflik besar bisa terjadi,” ujarnya.
Dia meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan aparat kepolisian untuk memproses pihak yang menghalangi kampanye calon.
“Segala asumsi hanya memperkeruh suasana. Bawaslu dan polisi harus memproses. KPU bisa membangun dialog dengan penyelenggara kampanye untuk menghindari bentrok,” katanya.
Hal senada disampaikan Siti yang menyebutkan, peran aktif Bawaslu dan polisi penting dalam mengungkap motif serta pelaku penolakan kampanye Ahok dan Djarot.
“Ini kan sifatnya terus menerus, tangkap saja yang menolak itu, ambil KTP nya kemudian interogasi agar jelas,” katanya.
Sedang mengkaji
Ketua Bawaslu Muhammad mengatakan, lembaganya sedang mengkaji kasus penolakan warga terhadap kampanye Ahok-Djarot.
"Kami tidak boleh terburu-buru menyimpulkan ada pihak yang menggiring, sekarang lagi dikaji," katanya seperti dikutip dari situs Tempo.co.
Muhammad mengaku telah memiliki beberapa bukti berupa video penolakan kampanye Ahok.
"Kalau ada terang-terangan melakukan penghalangan terhadap kampanye pasangan calon, kami proses pidana," ujarnya seraya mengimbau warga agar tak menghalangi kampanye pasangan calon.
Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol. Mochamad Iriawan menegaskan pihaknya siap memproses warga yang sengaja menghalangi kampanye karena itu pelanggaran hukum.
"Itu enggak boleh, itu mengganggu jalannya Pilkada dan itu pelanggaran," ujar Iriawan kepada wartawan.
Dia menambahkan, kepolisian telah berkoordinasi dengan Bawaslu DKI Jakarta terkait persoalan tersebut.
Selain itu, Polri juga akan memperketat pengamanan kampanye Ahok–Djarot dengan mengerahkan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK) yang berjumlah sekitar 90 personel.
"Personel melekat tetap, kalau kebutuhan untuk kampanye kita tambah, karena kan harus aman. Kalau memang kurang kita tambah, kalau cukup kita bisa kurangi," jelas Iriawan.