Agus Bei, ‘Orang Gila’ Pencetus Mangrove Centre Balikpapan
2018.01.31
Balikpapan
Pagar besi rumah Agus Bei di Kelurahan Graha Indah, Balikpapan, Kalimantan Timur, tertutup rapat.
Gembok terselip di gerendel kunci pagar rumah bercat hitam yang telah dialihfungsikan sebagai Kantor Mangrove Centre Balikpapan.
“Kalau siang begini, Pak Agus biasanya nongkrong di gazebo mangrove,” jelas Maryati, pedagang warung kopi sebelah rumah saat ditanya BeritaBenar yang mendatangi lokasi itu, Sabtu, 27 Januari 2018 .
Ternyata benar, pria setengah abad itu memang sedang bersantai di gazebo, sembari menikmati kerindangan alam mangrove. Bersamanya, ada serombongan bocah taman kanak-kanak yang sedang menjalani field tour di Mangrove Centre.
“Biasanya pengelola hutan mangrove, ngadem saat terik siang seperti ini,” tutur pria asal Banyuwangi di Jawa Timur, yang telah menetap di Balikpapan sejak 1995.
Gazebo Mangrove Centre nyaman dan asri dikelilingi pagar alam tumbuhan mangrove. Bangunan dari kayu ulin juga menjadi pelabuhan sandar delapan perahu sebagai sarana transportasi wisata mengarungi Teluk Somber.
“Pengunjung bisa menikmati pemandangan alam mangrove berikut habitat bekantan, buaya muara hingga burung-burung asli Kalimantan,” ungkapnya seraya menambahkan biaya sewa perahu warga dibadrol seharga Rp300.000 sekali jalan.
“Sewa perahu untuk beli BBM, jasa motoris perahu dan perawatan Mangrove Centre. Saya tidak pernah mengambil kas Mangrove Centre untuk keperluan pribadi,” katanya.
Sulaiman, seorang warga mengaku sengaja memilih berlibur bersama keluarga karena suasananya yang nyaman dan sejuk.
“Selain menikmati alam hutan mangrove, juga bisa melihat beberapa jenis binatang di sini,” katanya.
Setiap bulan, rata-rata pengunjung mencapai 2.000 orang, termasuk wisatawan asing. Sehingga dari jasa penyewaan perahu, Mangrove Centre bisa mengantongi pemasukan kotor Rp120 juta.
Pemasukan ini juga dipakai untuk modal pembangunan jembatan kayu ulin, yang sedang dikerjakan, untuk “membelah” hutan mangrove. Dana yang dibutuhkan mencapai Rp1,2 miliar.
“Agar pengunjung bisa berjalan kaki melihat-lihat kondisi hutan mangrove, tanpa perlu lagi menyewa perahu. Namun sarana jasa perahu tetap juga diberikan bagi mereka yang berminat,” jelas Agus.
Promosi Mangrove Centre mengandalkan keaktifan pengelola memposting keindahan alamnya lewat media sosial dan pemberitaan media massa.
“Pengelolaan Mangrove Centre dilakukan masyarakat setempat tanpa melibatkan unsur pemerintah daerah. Itu sebabnya tidak ada kutipan biaya tiket masuk area, kecuali jasa sewa perahu,” ujarnya.
Kampung bencana
Perumahan Graha Indah sempat jadi bencana bagi penghuninya. Angin puting beliung hingga banjir rob dari Teluk Sombar kerap menerjang perumahan yang dipasarkan sejak tahun 1997.
“Saya termasuk penghuni pertama di sini dengan lokasi berhadapan langsung ke Teluk Somber,” papar Agus.
Sebagai kawasan perumahan kategori sangat sederhana, Agus memaklumi perusahaan pengembang sekadarnya membangun rumah tipe 36, berdinding batako dan beratap seng.
“Sehingga akhirnya saya bongkar ulang yang menghabiskan dana Rp150 juta,” tuturnya.
Kebetulan Agus memilih rumah di lokasi berhadapan dengan hutan mangrove Somber seluas 250 hektare.
Meski minim sarana publik, ia meyakini hutan mangrove membuat lingkungan sekitar terasa menyegarkan siang maupun malam hari.
Namun semua itu berubah drastis kala ada pembabatan besar-besaran hutan mangrove. Setidaknya 150 hektare kawasan hutan disulap untuk area pertambakan ikan.
“Perambahasan besar-besaran tahun 2000. Hutan mangrove ditebang semua,” katanya.
Agus mengaku suasana di lingkungan perumahannya mendadak panas dan kerap banjir akibat air pasang Teluk Somber.
Belum lagi bila terjadi puting beliung, menerbangkan atap rumah yang terbuat dari seng dan genteng.
Berawal dari situ, Agus menarik kesimpulan ada benang merah antara hutan mangrove dan gejala alam di Graha Indah: hutan mangrove menjadi benteng perumahan warga dari bencana.
Dicap ‘gila’
Kemudian, pria tamatan SMA di Banyuwangi itu mulai menanam mangrove di lokasi bekas pembabatan hutan pada 2001.
Ia sempat dicap “gila” karena melakukan hal yang dianggap warga sebagai suatu pekerjaan tidak berguna.
“Kebetulan saat itu sedang jadi pengangguran, perusahaan spare part tempat saya kerja bangkrut, sehingga warga bilang saya sudah gila dan stres karena jadi pengangguran,” kenangnya.
Bukan perkara mudah menanam mangrove, tanpa bekal pengetahuan. Bibit sering mati atau hanyut terbawa pasang air laut.
“Saya belajar otodidak memperhatikan proses mangrove di alamnya. Ternyata memang tidak mudah,” ungkapnya.
Setelah berulang kali mencoba, Agus akhirnya tahu kunci utama adalah memastikan kualitas bibit, perawatan, hingga pemilihan lokasi tanam.
Semangat semakin tumbuh ketika mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di tempatnya berjanji untuk mengusahakan 1.000 bibit mangrove.
“Bibit berasal dari buah tua atau propagu yang dipetik pohon langsung. Bibit mangrove ditopang kayu yang kokoh agar tidak terhanyut saat pasang surut air laut,” jelasnya.
Yang juga tak kalah penting, membersihkan area dari sampah plastik yang mengganggu pertumbuhan mangrove. Pemasangan jaring sampah jadi pilihan agar tidak menimbun kawasan mangrove.
“Kalau semua tahapan ini dilakukan, saya jamin akan tumbuh sehat,” ujar peraih Piala Kalpataru untuk kategori perintis lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2017.
Dia mengaku ingin memperkenalkan mangrove sehingga dikenal lebih luas. Agus juga sedang berusaha meningkatkan nilai plus mangrove, seperti menjadikan aneka produk olahan.