Redam Protes, Aceh Pindahkan Lokasi Eksekusi Cambuk ke Penjara
2018.04.12
Banda Aceh
Untuk meredam protes pihak luar, Pemerintah Aceh memindahkan pelaksanaan hukuman cambuk terhadap para terpidana pelanggaran syariat Islam ke dalam penjara dari sebelumnya di tempat umum yang telah digelar sejak 13 tahun silam.
Tapi, kebijakan itu ditentang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan sejumlah aktivis mahasiswa yang berpendapat bahwa eksekusi cambuk di depan publik adalah pembelajaran agar masyarakat tidak melanggar syariat.
Pemindahan lokasi eksekusi cambuk ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Aceh (Kemenkumham) di Banda Aceh, Kamis, 12 April 2018.
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengatakan alasan pemindahan lokasi hukuman cambuk untuk meredam protes pihak luar, yang menimbulkan Islamophobia atas pemberlakuan syariat Islam di provinsi paling barat Indonesia.
“Karena Islamophobia, kita ngak mau pelaksanaan hukuman ini mengganggu urusan luar negeri,” katanya kepada wartawan.
Selama ini, aktivis pegiat hak asasi manusia (HAM) nasional dan internasional kerap memprotes eksekusi cambuk di Aceh karena dianggap melanggar HAM.
Yang paling gencar protes disuarakan saat dua pria yang terbukti melakukan hubungan seksual dicambuk pada 23 Mei 2017.
Menurut Irwandi, hukuman cambuk dalam penjara masih tetap bisa disaksikan, namun tergantung kapasitas penjara.
“Tetapi tidak bisa bawa anak kecil di situ, tidak bisa bawa kamera, bawa HP!” ujarnya.
Dia menambahkan alasan pemindahan lokasi sudah dipertimbangkan dari segala hal.
“Coba bayangkan hukuman disaksikan oleh anak kecil dan di situ timbul keriaan, teriak-teriak, tepuk tangan. Apakah begitu yang dimaksud dalam syariat. Nggak!” imbuhnya.
Dia menyebutkan bagaimana apabila mereka yang sudah dicambuk, kemudian videonya diunggah ke laman YouTube sehingga seumur hidup terpidana cambuk akan trauma.
“Katakan sekarang sebagai pelanggar, kemudian dia menjadi tokoh masyarakat, menjadi ulama, misalnya. Ketika menjadi ulama dan tokoh masyarakat, (ada yang menunjukkan) ini video Bapak dulu,” paparnya memberi contoh.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Munawar A Djalil, menyatakan beleid berupa Peraturan Gubernur (Pergub) yang ditandatangani pada 28 Februari lalu telah didiskusikan dengan berbagai pihak, termasuk ulama, akademisi, dan kalangan aktivis.
“Ini untuk mencegah agar anak-anak tak menonton karena bertentangan dengan qanun. Anak-anak tidak boleh menonton, itu 18 tahun ke bawah,” katanya.
Dalam qanun (peraturan daerah) tentang tata cara eksekusi cambuk memang disebutkan anak-anak di bawah usia 18 tahun dilarang menyaksikan.
“Tapi praktik pelaksanaan cambuk dari 2005 sampai sekarang, ditonton oleh anak-anak. Bayangkan efek psikologinya kalau anak-anak melihat kekerasan,” tutur Munawar.
Ditentang
Saat berlangsung penandatanganan perjanjian kerja sama antara Gubernur Irwandi dan Kepala Kanwil Kemenkumham Aceh, A Yuspahruddin, tujuh mahasiswa menggelar unjuk rasa diam di luar gedung acara, sambil membentangkan dua spanduk.
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) itu menolak pemindahan hukuman cambuk ke penjara karena dikhawatirkan akan banyak lagi pelanggaran syariat Islam terjadi di Aceh.
“Kalau cambuk dilakukan di penjara, sama saja tertutup. Pelanggaran syariat akan makin marak terjadi di Aceh. Sekarang saja masih banyak terjadi,” kata Tuwanku Muhammad, koordinator aksi.
“Kami menolak Pergub itu karena cambuk di tempat umum juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat agar tidak melanggar syariat Islam.”
Terkait sedikitnya jumlah peserta aksi, Muhammad beralasan mereka baru mengetahui penandatanganan perjanjian pemidahan lokasi hukuman cambuk, pada Rabu malam.
“Kami akan lakukan unjuk rasa dengan massa yang lebih banyak lagi bersama organisasi massa Islam lain,” katanya.
Penolakan juga disuarakan Ketua DPRA, Muharuddin ketika diminta tanggapannya atas terbitnya Pergub tentang pemindahan lokasi pelaksanaan hukuman cambuk ke penjara.
“Itu salah kaprah, karena tata cara pelaksanaan eksekusi cambuk sudah diatur dalam qanun. Kalau mengeluarkan Pergub, boleh saja, tapi tentang sesuatu yang tidak diatur dalam qanun,” katanya kepada BeritaBenar.
Pasal 262 ayat 1 Qanun Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat disebutkan, “Hukuman cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir.”
Jika gubernur punya keinginan untuk mengubah, menurut Muharuddin, mekanismenya adalah melalui DPR Aceh, dengan mengajukan perubahan.
“Jadi yang dilakukan oleh gubernur telah melanggar prinsip demokrasi dan melanggar konstitusi,” katanya.
“Secara hirarki, kita lihat, qanun lebih tinggi daripada pergub. Kemudian, pergub boleh mengatur sesuatu yang tidak ada dalam qanun. Masalah teknis (pelaksanaan cambuk) sudah diatur.”
Politisi Partai Aceh – salah satu partai lokal di Aceh yang didominasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) – itu menambahkan pihaknya segera menggelar rapat untuk menentukan sikap apa yang akan dilakukan atas masalah tersebut.
Terkait penolakan tersebut, Irwandi menanggapi santai dan mempersilakan saja.
“Kalau mereka tolak, biar saja. Itu hak mereka,” pungkasnya.