Aceh pertimbangkan kembalinya bank konvensional menyusul serangan siber ke BSI
2023.05.15
Banda Aceh
Serangan siber yang melumpuhkan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) selama beberapa hari memicu desakan agar bank konvensional diizinkan beroperasi kembali di Provinsi Aceh yang menerapkan hukum Islam dan sistem perbankan tunggal.
Serangan terhadap BSI, yang dimulai pada 8 Mei dan berlangsung hingga 11 Mei, menyebabkan jutaan nasabah tidak dapat mengakses akun mereka atau melakukan transaksi melalui ATM dan perbankan seluler.
Kelompok peretas LockBit 3.0 mengklaim bertanggung jawab atas serangan ransomware itu dan mengatakan telah mencuri 15 juta data pelanggan, informasi karyawan dan sekitar 1,5 terabyte data internal dari BSI.
Kejadian ini mendorong sebagian anggota dewan perwakilan, pengusaha dan warga di Aceh untuk meminta revisi peraturan daerah, atau qanun, tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang dikeluarkan tahun 2018.
Peraturan itu mengharuskan setiap orang dan badan hukum di Aceh menggunakan prinsip-prinsip keuangan syariah dalam melakukan transaksi keuangan.
“Kami sudah bermusyawarah di lembaga, qanun (peraturan hukum) LKS ini harus ditinjau ulang agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri yang berasal dari Partai Aceh.
Setelah qanun itu berlaku, satu per satu bank konvensional menghentikan operasionalnya dan hanya tinggal bank syariah. BSI merupakan gabungan beberapa bank syariah milik pemerintah.
Serangan siber terhadap BSI adalah salah satu dari beberapa serangan ransomware yang telah menimpa berbagai institusi di seluruh dunia baru-baru ini.
Ransomware adalah jenis perangkat lunak jahat yang mengenkripsi data dan menuntut pembayaran untuk melepaskannya. Para ahli telah memperingatkan bahwa serangan ransomware merupakan ancaman serius bagi bisnis dan pemerintah dan mendesak mereka untuk meningkatkan langkah-langkah keamanan siber mereka.
Menurut data Bank Indonesia saat ini ada tujuh bank komersial syariah, enam unit usaha syariah dan tiga bank perkreditan rakyat yang menyediakan layanan perbankan di Aceh. Sebaliknya, ada lebih dari 100 bank konvensional yang beroperasi di seluruh Indonesia.
Beberapa pengusaha Aceh mengatakan mereka harus mencari sumber pembiayaan usaha dari bank konvensional di luar Aceh karena bank syariah tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Nahrawi Noerdin, ketua Hiswana Migas Aceh, sebuah asosiasi pemilik pompa bensin, mengatakan dia menyambut baik rencana merevisi peraturan dan mengizinkan bank konvensional beroperasi lagi di Aceh.
"Saat BSI error seperti sekarang ini sangat menyulitkan kami para pengusaha di SPBU," ungkap pemilik pom bensin di Aceh Besar ini.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Aceh Muhammad Iqbal Piyeung sudah lama mengkritisi layanan perbankan di Aceh yang hanya tersedia bank syariah. Banyak kebutuhan layanan perbankan pengusaha yang belum mampu dilayani oleh produk perbankan syariah, katanya.
“Bank konvensional mesti dibuka lagi di Aceh karena transaksi keuangan masih membutuhkan layanan bank konvensional," ujar Muhammad Iqbal.
Sementara itu Kepala Bank Indonesia Perwakilan Aceh Rony Widijarto Purubaskorog menyebutkan soal aturan dan rencana revisi qanun sepenuhnya wewenang pemerintah Aceh. Pihaknya hanya memastikan kelancaran transaksi dan tersedianya dana yang cukup yang dijamin oleh Bank Indonesia.
Kantor Bank Indonesia Perwakilan Aceh akhir minggu ini merilis pertumbuhan ekonomi Aceh 4,63 persen, lebih rendah dibandingkan triwulan pertama tahun lalu 5,6 persen.
Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi, menilai serangan siber ke BSI sangat menghambat aktivitas ekonomi dan bisnis di berbagai sektor usaha.
“Inilah risiko bagi Aceh yang memilih sistem perbankan tunggal,” ujarnya kepada BenarNews.
Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Aceh menghentikan sementara penyaluran dana APBN melalui BSI menyusul terganggunya layanan perbankan selama berhari-hari.
"Atas adanya kejadian berupa system error pada BSI beberapa hari ini, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan mengambil langkah berupa penghentian sementara interkoneksi sistem antara BSI dengan sistem perbendaharaan dan anggaran negara sebagai platform pembayaran APBN,” kata Kepala Kanwil DJPb Aceh, Izharul Haq.
“Langkah ini merupakan upaya memberikan kesempatan kepada BSI untuk memperbaiki sistem mereka," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan akhir pekan lalu.
Namun, tidak semua orang di Aceh mendukung gagasan mengizinkan bank konvensional kembali beroperasi. Sebagian pihak berpendapat bahwa hal itu akan melemahkan penerapan hukum dan prinsip Islam di satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariah itu.
“Persoalan system layanan BSI yang bermasalah jangan dijadikan alasan merevisi qanun LKS,” kata Muhammad Balia, ketua Asosiasi Pengusaha Santri Indonesia Aceh.
Namun juru bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA mengindikasikan pihaknya terbuka tentang usulan itu.
“Pada prinsipnya Pemerintah Aceh adalah pelaksana terhadap aturan yang dihasilkan dewan. Apapun kebijakan dewan tentu sangat kita hargai,” ujarnya.
Dari Jakarta, juru bicara BSI Gunawan Arief Hartoyo menyatakan layanan perbankan sudah pulih secara bertahap. Namun di Aceh layanan BSI belum nomal sepenuhnya sampai akhir pekan kemarin.