Setelah 10 WNI Dibebaskan, Perlu Pengawalan Bersenjata

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.05.02
Jakarta
160502_ID_freedsailors_1000.jpg Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menyalami para anak buah kapal yang dibebaskan Abu Sayyaf saat berlangsung serah terima mereka kepada pihak keluarga di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, 2 Mei 2016.
Dok. Info Media Kemlu RI

Untuk mengantisipasi serangan perompak di jalur pelayaran komersil yang sibuk antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina, kapal-kapal yang melintas harus dikawal petugas bersenjata, ungkap ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), Hanafi Rustandi, Senin, 2 Mei 2016.

Pengawalan itu menjadi perlu setelah tiga serangan perompak dalam satu setengah bulan terakhir terhadap kapal-kapal yang melintas dan penculikan awak kapal. Sepuluh anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) telah dibebaskan 1 Mei 2016 setelah diculik militan Abu Sayyaf di Filipina Selatan sejak 26 Maret lalu.

“Sebaiknya ditempatkan pengawal bersenjata dalam kapal, tapi terdaftar sebagai anak buah kapal dan perusahaan pemilik kapal harus membayarnya,” ujar Hanafi kepada BeritaBenar.

Menurut dia, pengawal bersenjata dibutuhkan terutama untuk kapal tunda dengan ABK sedikit, tetapi harus disetujui oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina.

“Saya harap hal ini akan dibicarakan dalam pertemuan tiga menteri luar negeri pada minggu ini,” ujarnya sambil menambahkan syahbandar dimana kapal tersebut berangkat harus meneliti tentang asuransi kapal, barang dan awak kapal.

“Perusahaan harus bayar asuransinya. Apalagi ini perairan yang berbahaya, bila perlu disediakan juga asuransi buat keluarganya,” tambah Hanafi.

Uang tebusan

Dia mengaku sama sekali tak tahu mengenai kebenaran kabar bahwa ke-10 ABK itu dibebaskan karena uang tebusan sebesar 50 juta peso atau Rp14,3 miliar seperti dituntut Abu Sayyaf sudah dibayar kepada para penculik.

Pemerintah terus mengatakan tak ada tebusan yang dibayar ke penculik. Namun mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Senin, mengatakan bahwa mereka dibebaskan karena tebusan sudah dibayar.

“Jelas saja sandera dilepas, wong dibayar, kok," ucap Mega kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno seperti dikutip berbagai media nasional.

Menteri Koordinator Hukum Politik dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan kapada para wartawan di Istana Presiden menegaskan bahwa pemerintah tetap pada posisi tidak membayar tebusan dan masalah itu adalah urusan perusahaan pemilik kapal.

Sebelumnya pada 19 April lalu, Luhut menyatakan perusahaan tempat ke-10 ABK itu bekerja telah setuju membayar tebusan kepada Abu Sayyaf, dimana uang itu akan diserahkan di satu tempat.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan tak ada tebusan yang dibayar kepada penculik. Pembebasan ke-10 ABK itu terjadi karena pemerintah menerapkan strategi diplomasi total dengan melibatkan berbagai unsur yang sudah bekerja sejak 28 Maret, katanya.

“Pembebasan ini melalui proses panjang, situasi di lapangan juga sangat dinamis dengan tingkat komplikasi yang sangat tinggi,” ujar Retno dalam sambutannya pada acara serah terima para ABK kepada pihak keluarga di Kementerian Luar Negeri, Senin siang.

“Sejak awal, kita membuka semua simpul komunikasi dengan sebanyak mungkin pihak karena kita paham satu simpul tidak cukup untuk satu operasi sangat penuh resiko ini. Satu batu bata tidak cukup untuk membangun sebuah rumah,” tambahnya.

Upaya pembebasan sandera lain

Retno menambahkan bahwa pemerintah masih bekerja untuk membebaskan empat sandera lain. “Pemerintah akan memanfaatkan semua opsi yang terbuka untuk membebaskan keempat warga negara Indonesia. Lokasi keempatnya terus terpantau dari waktu ke waktu,” ujarnya.

Retno menegaskan pemerintah tak akan membayarkan uang tebusan kepada penyandera dan akan menggunakan segala cara serta strategi untuk menyelamatkan WNI yang masih ditahan.

Keempat WNI diculik perompak dari kapal tunda Cristi yang dibajak di perairan perbatasan Filipina dan Malaysia pada 15 April saat dalam perjalanan kembali ke Kalimantan dari Filipina.

Enam ABK lain, termasuk satu yang terluka tembak diselamatkan polisi laut Malaysia. Kelima ABK yang selamat sudah kembali di Indonesia sementara yang terluka tembak masih dirawat di rumah sakit Malaysia.

Selain empat WNI, Abu Sayyaf juga menyandera empat warga Malaysia, masing-masing seorang warga Kanada, Norwegia, Belanda, China dan tujuh warga Filipina. Senin pekan lalu, Abu Sayyaf mengeksekusi seorang sandera warga Kanada, John Ridsdel, yang diculik sejak September 2015, setelah pembayaran ransom tidak diterima pada tenggat waktu yang diberikan.

Sesekali diancam tapi tak alami kekerasan

Ke-10 ABK Indonesia tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah Minggu, pukul 23.30. Mereka langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta Pusat untuk pemeriksaan kesehatan dan semuanya dinyatakan sehat.

Peter Tonsen, salah seorang ABK mengatakan mereka tidak mengalami kekerasan selama ditahan Abu Sayyaf walau sesekali diancam terkait tebusan yang diminta.  “Akomodasi kami beratapkan langit, tidur beralaskan daun kelapa, sama seperti mereka,” ujarnya kepada wartawan.

ABK lain, Wendi Rakhdian, mengatakan mereka diberikan makanan sama seperti yang dikonsumsi militan Abu Sayyaf.

“Kami bersyukur karyawan kami dapat kembali ke tanah air dalam keadaan selamat dan semoga dapat segera berkumpul dengan keluarga. Atas nama perusahaan kami mengucapkan terima kasih berkat usaha diplomasi dan dukungan moril dari semua pihak,” ujar perwakilan dari pemilik kapal, Loudy Irwanto Ellias.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.