Minim Dana, Abu Sayyaf Diprediksi akan Tetap Lakukan Penculikan

Pakar antiterorisme mengatakan perairan perbatasan Indonesia, Malaysia, Filipina akan tetap rawan pembajakan.
Eko Widianto
2020.07.29
Malang
200729_ID_AbuSayyaf_1000.jpg Seorang tentara Filipina mendampingi sekelompok nelayan yang baru dibebaskan dari cengkeraman kelompok militan bersenjata Abu Sayyaf, di Jolo, Filipina, 22 Juni 2019.
AFP

Kelompok militan di Filipina selatan, Abu Sayyaf, diprediksi akan kembali melakukan aksi pembajakan, penculikan dan penyanderaan untuk tebusan uang karena mereka kekurangan dana, kata pengamat terorisme.

Selama 12 bulan ke depan kawasan perairan di Sabah, Malaysia, akan menjadi kawasan berbahaya karena kelompok Abu Sayyaf bakal kembali beraksi, kata direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones.

Sidney mengatakan bantuan dana untuk Abu Sayyaf dari pendukung ISIS sudah semakin berkurang dan sejumlah faksi di kelompok itu tengah berkonsolidasi.

“Akan banyak penculikan, siapa saja, WNI atau orang lain,” kata Sidney dalam webinar berjudul “Evolusi Kelompok Teroris Abu Sayyaf dan Kelangsungan Hidup WNI di Sabah-Malaysia” yang diselenggarakan Mitra Data Indonesia, Jumat (24/7).

Sidney menyebut Abu Sayyaf Group (ASG) berevolusi dari kelompok terorisme menjadi pelaku kriminal lintas negara, dengan membajak kapal dan menyandera anak buah kapal untuk mendapat uang tebusan.

“Siapa yang diuntungkan dari uang tebusan? Ada banyak, termasuk aparat dan politikus di Filipina,” ujarnya.

Peneliti lainnya dari IPAC, Deka Anwar, mengatakan kucuran dana hingga ratusan ribu dollar AS dari ISIS yang pernah diterima Abu Sayyaf, kini sudah tidak ada lagi.

Abu Sayyaf awalnya bernama Al-Harakat al-Islamiyah yang didirikan Aburazak Janjalani,  seorang Muslim Filipina yang menjadi radikal sekembalinya menuntut ilmu di Arab Saudi, Libya dan negara –negara Timur Tengah lainya. ASG merupakan sempalan dari Moro National Liberation Front (MNLF) atau Front Pembebasan Nasional Moro pada 1991.

Sejumlah pelaku bom Bali asal Indonesia sempat bergabung dengan kelompok ini, termasuk Dul Matin dan Umar Patek, ujar Sidney.

Abu Sayyaf kemudian pecah dalam sub suku dan keluarga. Kini, setiap kelompok terdiri atas 10-15 orang, kebanyakan dari mereka mendukung kelompok ISIS.

Hatib Hajan Sawajaan, yang bergabung dengan Abu Sayyaf tahun 1992, kini memimpin kelompok ISIS di Jolo, menggantikan Isnilon Hapilon yang tewas dalam pengepungan di Marawi tahun 2017.

Sawadjaan menculik orang asing untuk mendapat uang tebusan besar, selain untuk mendapat pujian dari kelompok ISIS di Timur Tengah.

Sawadjaan terluka akibat tembakan Juni 2020, namun sampai sekarang masih dihormati sebagai Amir dari semua kelompok yang ada.

Kini, setiap faksi mulai kerjasama lantaran kelompok yang berafiliasi dengan ISIS ini tak dapat lagi sumbangan uang dari luar negeri dan memaksa mereka untuk mencari dana yang bersumber dari uang tebusan hasil penculikan, kata Sidney.

Selain itu, serangan militer Filipina juga meningkat di Jolo, kata Sidney.

Ali Fauzi, yang pernah menjadi narapidana terorisme dan kini adalah direktur eksekutif Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah lembaga deradikalisasi bekas napi terorisme dan kombatan, mengatakan pembajakan yang dilakukan Abu Sayyaf tak hanya untuk mencari perhatian, tetapi juga karena mereka tak memiliki akses ekonomi lain.

Ali Fauzi, yang merupakan adik bungsu trio pelaku Bom Bali - Amrozi, Ali Gufron  dan Ali Imran - mengaku bergabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) tahun 1994 setelah berbaiat kepada kelompok Jamaah Islamiyah (JI) pada 1991.

MILF seperti juga Abu Sayyaf, merupakan kelompok separatis berbasis di Filipina selatan yang ingin menegakkan Negara Islam.

“Sejak nenek moyang mereka zaman Kerajaan Sulu, mereka punya tradisi membajak,” kata Ali kepada BenarNews.

Penculikan terhadap warga negara Indonesia, kata Ali, lebih banyak daripada yang terverifikasi atau yang dilaporkan, dan akan tetap marak pada tahun ini.

“Mereka membutuhkan uang, selain demi perjuangan mereka, juga untuk menghidupi masyarakat kelas bawah atau warga miskin,” kata Ali.

“Mereka dianggap seperti Robin Hood. Mereka dengan masyarakat saling membutuhkan, ada simbiosis mutualisme. Jika dikejar aparat Filipina, mereka bisa membaur dengan masyarakat dan masyarakat di sana bakal melindungi,” ujarnya.

Untuk negosiasi pembebasan sandera dibutuhkan kepiawaian agar tak perlu membayar tebusan dalam jumlah besar kepada Abu Sayyaf, kata Ali, yang mengaku kenal dengan pimpinan kelompok Abu Sayyaf namun karena berbeda pandangan, kini ia dianggap musuh.

Ali belajar pemetaan dan taktik infanteri bersama MILF di Mindanao selama tiga tahun dan tahun 1997 dia menjadi anggota pasukan elite spesialis ranjau darat di kelompok separatis itu.

Pada 1999 dia menjadi kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah di Jawa Timur, namun pada tahun 2002 dia keluar dari kelompok itu.

Dia kembali ke Mindanao 2003 dan menjadi kepala kamp militer yang berisi militan dari Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebelum ditangkap polisi Filipina pada 2004 dan dipenjara di wilayah Cotabato.

Pada 2006, dia dipulangkan ke Indonesia dan kini mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Lamongan dan menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi terutama untuk berbicara masalah pencegahan dan penangulangan radikalisme.

Peneliti IPAC, Deka Anwar, menjelaskan pembajakan dan penculikan marak terjadi sejak 2010 karena terjadi peningkatan ekspor batu bara dari Indonesia ke Filipina.

Sekitar 93 persen pasokan batu bara dari Indonesia melalui jalur Mindanao. Selain itu, gerak kapal tongkang lambat memudahkan pelaku untuk menculik dan merampok anak buah kapal (ABK).

Banyak ABK Indonesia diculik karena cepat memberi uang tebusan dan tanpa banyak negosiasi. Diperkirakan jutaan dolar Amerika Serikat diperoleh kelompok Abu Sayyaf dari penculikan tersebut.

Sejak Juni 2017 diluncurkan kerjasama keamanan trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan melibatkan patroli di perairan ketiga negara.

Tidak kapok

Direktur Perlindungan Buruh Migran dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mencatat terjadi sebanyak 16 kasus penyanderaan dengan korban 54 orang Indonesia, termasuk 13 kali di perairan Sabah Malaysia.

Lima orang Indonesia masih dalam penahanan Abu Sayyaf, termasuk seorang anak di bawah umur, kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia.

“Jangan hanya fokus pembebasan dan uang tebusan. Perlu menyelesaikan akar masalah, upaya pencegahan,” ujar Judha dalam webinar yang sama.

Namun, sejumlah nelayan tak kapok. Bahkan ada nelayan yang pernah dibebaskan setelah diculik Abu Sayyaf kembali bekerja sebagai nelayan di kapal Malaysia dan belakangan ia ditangkap lagi oleh kelompk Abu Sayyaf, kata Judha.

“Jangan ambil risiko, cukup saya mengatarkan jenazah Hariyadi ke liang lahat di Wakatobi tahun lalu,” katanya, merujuk pada salah seorang korban WNI asal Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Wakil Bupati Wakatobi Ilmiati Daud mengaku sedih saat mengantar korban penculikan pulang ke rumah mereka.

“Mereka bercerita berenang di laut untuk menyelamatkan diri. Bahkan temannya meninggal di laut, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.

Konsul Jenderal di Kinabalu Krisna Zaelani menjelaskan sebanyak 136 ribu warga Indonesia di Kinabalu, 95 persennya bekerja di kebun sawit sisanya bekerja sebagai nelayan ikan tangkap. Jumlah warga Indonesia yang bekerja sebagai nelayan di Sabah sekitar 1.000-1.500 orang.

Sedangkan di Sabah juga banyak keturunan warga negara Filipina yang mencari suaka di Sabah saat terjadi perang Filipina dan kemudian bekerja sebagai nelayan.

“Disinyalir mereka menjadi informan, memberi laporan kepada penculik,” ujar Krisna.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.