Pemimpin MNLF Dilibatkan dalam Upaya Pembebasan Sandera
2016.07.25
Jakarta
Pemerintah terus mengupayakan pembebasan 10 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Salah satunya dengan melibatkan Nur Misuari, tokoh muslim Filipina Selatan yang juga pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).
“Mengenai bantuan, pemerintah memang banyak berhubungan dengan kelompok itu (Nur Misuari),” kata staf ahli bidang pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto, di Jakarta, Senin, 25 Juli 2016.
Upaya dilakukan melalui kerjasama tim yang tergabung dalam berbagai institusi seperti BNPT, Kemenpolhukam, Kemhan, Kemlu, Panglima TNI, Mabes Polri, dan Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia.
“Setiap institusi dan tokoh memiliki akses dan peran yang berbeda,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut Wawan, hubungan pemerintah dan Misuari sangat dekat karena Indonesia telah berperan banyak dalam upaya perdamaian antara MNLF dan Filipina pada 1996.
“Kami sudah kirim utusan khusus ke sana, namun secara tertutup. Segala upaya ditempuh termasuk dengan komunikasi, berdialog dan upaya diplomasi dengan kelompok lain di sana, kita lakukan seperti yang sudah-sudah,” katanya.
Meskipun diakuinya tidak ada hubungan langsung dengan kelompok Abu Sayyaf, namun Misuari cukup berpengaruh di sana.
Pendapat senada diungkapkan Menko Polhukam, Luhut Binsar Pandjaitan kepada wartawan, Kamis pekan lalu, dengan mengatakan Misuari memiliki posisi strategis.
"Kita kontak siapa saja sih, nggak cuma dia (Misuari). Tapi dia punya hubungan baik dengan kita dan Abu Sayyaf. Kita gunakan semua kemungkinan dan pendekatan," ujar Luhut.
Menurutnya, Misuari berminat membantu Indonesia untuk membebaskan 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf. Luhut memastikan Misuari tak meminta imbalan. "Saya kenal dan tahu Nur Misuari. Saya dua kali ketemu dia," katanya.
Selama lima bulan terakhir, 24 WNI disandera kelompok yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dalam empat kali penyanderaan. Sejumlah 14 ABK yang disandera pada Maret dan April 2016 sudah dibebaskan bulan Mei.
Penyanderaan kembali terjadi pada 23 Juni, dimana tujuh ABK tugboat Charles 001 diculik Abu Sayyaf. Kemudian tiga WNI diculik 9 Juli 2016 setelah kapal berbendera Malaysia disergap di perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, oleh lima pria bersenjata.
Tebusan
Wawan menyebutkan uang tebusan sejumlah 1,5 juta ringgit atau setara Rp60 miliar yang diminta Abu Sayyaf bisa saja dipenuhi pihak perusahaan melalui klaim asuransi. Tapi sejauh ini belum ada kesepakatan apakah akan diberikan atau tidak.
“Saat ini semua pihak masih tertutup akan segala kemungkinan yang ada,” ujarnya.
Seorang anggota DPR dari Partai Nasdem yang terlibat saat pembebasan 10 sandera sebelumnya, Supiadin mengatakan meski tak dilibatkan kali ini, dia menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan dalam bidang sosial kebudayaan.
“Kondisi pendidikan masyarakat Filipina (Selatan) sangat tertinggal. Sekolahnya memprihatinkan, pembangunan tidak berjalan, dan termajinalkan, karena konflik berkepanjangan dan operasi militer jadi mereka merasa tidak aman, untuk hidup sajapun mereka sulit,” katanya kepada BeritaBenar.
“Sebaiknya Pemerintah Filipina melakukan pendekatan seperti waktu Indonesia ada konflik di Aceh,” tambah Supiadi, yang pernah menjabat Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh.
Pemerintah Indonesia dan pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan perundingan untuk mengakhiri konflik hampir 30 tahun yang menewaskan sekitar 25.000 orang. Pemerintah memberikan otonomi khusus kepada Aceh.
Menurut Supiadi, Abu Sayyaf terpecah dalam beberapa faksi kecil. Salah satunya kelompok Tawing Maing yang menyandera 10 sandera Maret lalu.
Sedangkan pelaku penyanderaan 10 WNI yang diculik pada 23 Juni dan 9 Juli diduga adalah kelompok Al Habsyi Misayah. Berbeda dengan kelompok Tawing Maing yang lunak diajak berdialog, Al Habsyi Misayah dikenal sebagai kelompok yang tidak kenal kompromi dan sangat keras.
“Watak mereka keras, tak kenal ampun dan tuntutan mereka jelas yaitu hanya uang. Uang tersebut digunakan untuk makan sehari-hari,” ujar Supiadi.
Dikatakannya, alasan Abu Sayyaf terus menyandera WNI belum diketahui pasti, tapi diduga konflik dengan pemerintah Filipina yang tak kunjung usai sehingga membuat kelompok militan terpecah faksi dan melakukan penculikan warga asing demi uang.
“Ini jadi modus mereka mendapatkan uang, sekali dibayar maka mereka akan terus meningkatkan uang tebusan,” katanya.
Opsi militer
Luhut mengatakan opsi militer hampir tidak mungkin digunakan untuk penyelamatan WNI yang disandera Abu Sayyaf.
“Peluangnya hanya 0,5 persen mungkin, selain itu tidak ada yang kenal daerah di sana, sangat sulit dijangkau,” ujarnya, menambahkan konstitusi Filipina juga tidak mengizinkan TNI melakukan operasi militer di sana.
“Tidak ada yang bisa jamin pasti sukses, lagipula, penduduk lokal di sana kebanyakan kompak mendukung kelompok Abu Sayyaf. Kalau tidak bisa keluar, repot nanti,” katanya.
Sementara itu, di sela-sela pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN di Vientiane, Laos, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi meminta pemerintah Filipina untuk memberi perhatian pada upaya pembebasan sandera dan masalah keamanan laut Sulu dan sekitarnya.
“Ini adalah isu sangat serius untuk Indonesia. Filipina sudah memberikan komitmen untuk bekerja sekeras mungkin dengan RI dalam isu ini,” tambahnya.