Filipina, Malaysia, dan Indonesia Dinilai Gagap Hadapi Abu Sayyaf
2016.11.22
Jakarta
Penculikan anak buah kapal warga negara Indonesia (WNI) yang berulang terjadi dinilai pengamat sebagai bentuk untuk mempermainkan Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina karena ketiga negara gagap menghadapi Abu Sayyaf Group (ASG).
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menyebutkan, penculikan akan terus berulang kalau ketiga negara tak tegas menindak ASG.
“Mereka menculik di wilayah kosong pengawasan dan memanfaatkan kelemahan ketiga negara sehingga sulit dihindari dan akan terus berulang,” katanya kepada BeritaBenar, Selasa, 22 November 2016.
Khairul diminta tanggapan menyusul kembali penculikan dua nelayan WNI yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera Malaysia di perairan Lahad Datu, Sabah, Sabtu pekan lalu.
Kedua nelayan itu adalah Saparuddin Bin Koni (43), kapten kapal dan Sawal Bin Maryam (36) wakil kapten. Mereka berasal dari Sulawesi Selatan.
Ini terjadi 15 hari setelah penculikan sebelumnya di daerah yang sama, 5 November lalu, ketika dua WNI asal Buton, Sulawesi Tenggara, diculik kelompok bersenjata saat bekerja di kapal berbendera Malaysia.
Dengan demikian, saat ini ada enam WNI yang disandera ASG. Dua WNI lain adalah anak buah kapal tugboat Charles yang diculik 20 Juni 2016. Lima rekan mereka sudah dilepas pada Agustus dan September lalu.
Meskipun Pemerintah Indonesia berulang kali membantah ada uang tebusan dibayarkan kepada penculik, tetapi laporan keamanan Filipina menyebutkan bahwa dalam semester pertama tahun 2016, ASG memperoleh Rp95 miliar.
Menurut Khairul, pengamanan laut ketiga negara masih terkendala karena kurangnya kedisiplinan personil pemangku kepentingan di lapangan dan kepatuhan operator armada laut.
“Ini menyebabkan awareness kurang dan kemampuan penegakan keamanan menurun secara signifikan. Bayangkan saja, tiga negara sekaligus gagap menghadapi kelompok Abu Sayyaf,” ujarnya.
Di level kebijakan, tambahnya, sinergi pengamanan laut berupa patroli bersama baru sebatas gagasan yang belum konkret.
“Ego kedaulatan dan kendala regulasi masing-masing negara, menjadi kendala paling utama,” ujarnya.
Lebih tegas
Pakar terorisme yang juga Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai penculikan karena kesengajaan untuk mendiamkan peristiwa tersebut.
“Ini seperti dibiarkan karena Malaysia masih ada masalah perbatasan di wilayah laut dengan Filipina. Meski ada MOU tiga negara untuk patroli bersama, tetap saja persoalan politik menjadi kendala dan berpengaruh pada implementasi dilapangan,” katanya.
Harits dan Khairul menyarankan Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi lebih tegas dalam menghadapi ASG, termasuk menabrak aturan yang ada.
“Pemerintah bisa lakukan ekstra yudisial dan lakukan operasi senyap memberantas ASG. TNI pasti bisa menakhlukkan medan sesulit apapun di sana,” ujar Khairul.
“Plan B harus segera dicari. Kirim kapal perang TNI lengkap dengan teknologi untuk patroli. Indonesia harus mendesak Filipina dan Malaysia,” kata Harits, “kalau perlu menekan, stop batu bara ke Filipina.”
Ingatkan komitmen
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi kembali meminta perhatian Malaysia dan Filipina menyangkut komitmen tiga negara yang disepakati di Yogyakarta pada Mei lalu terkait masalah penculikan oleh kelompok bersenjata.
Dia mengaku telah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Malaysia dan penasihat Presiden Filipina untuk masalah perdamaian.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, menyatakan bahwa pertemuan lanjutan trilateral Menteri Pertahanan ketiga negara akan digelar di Manila, Filipina, 23 November 2016.
Dalam pertemuan, jelasnya, dibahas teknis SOP on Trilateral Maritime Patrol berkaitan isu mengenai Rules of Engagement. Selain itu akan dibicarakan juga penyusunan Terms of Reference pembentukan Joint Working Group on Trilateral Cooperative Arrangement.
Harus dievaluasi
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin menyesalkan penculikan terus terjadi padahal MoU trilateral tiga negara sudah berjalan.
“Tapi kok penyanderaan masih terulang? Ini berarti MoU trilateral perlu dievaluasi lagi ujarnya dalam rilis yang diterima BeritaBenar.
Menurut Hasanuddin, MoU trilateral yang telah disepakati dibahas lebih lanjut antara para panglima angkatan bersenjata ketiga negara untuk kemudian dibuatkan konsep operasi dan patroli bersama.
"Tiga negara harus aktif bertukar informasi intelijen terhadap pergerakan kelompok militan Abu Sayyaf. Ini penting untuk pemetaan pergerakan mereka (Abu Sayyaf)," katanya.
Setelah pengamanan laut diperkuat, Hasanuddin mengingatkan kapal-kapal komersil tetap wajib melaporkan ke Angkatan Laut bila berlayar dan berhati-hati.
Dalam MoU yang disepakati Mei lalu, ada empat poin tentang upaya mengamankan perairan pebatasan ketiga negara.
Kesepakatan itu adalah patroli laut bersama yang terkoordinasi, memberikan bantuan segera jika ada warga atau kapal mengalami kesulitan di perairan itu, membentuk gugus tugas untuk berbagi informasi intelejen dan pembentukan hotline untuk merespon situasi darurat.