Pengikut MIT Bertambah, Aktivis Sebut Aparat Keamanan Kecolongan

Keisyah Aprilia
2019.01.11
Jakarta
1000.jpg Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah AKBP Hery Murwono memperlihatkan foto anggota MIT yang masuk DPO saat jumpa pers di Palu, 9 Januari 2019.
Sandy/BeritaBenar

Aktivis pegiat hak asasi manusia menyatakan, aparat keamanan yang memburu sisa-sisa anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) kecolongan karena ada militan baru bergabung dengan kelompok bersenjata itu.

“Dengan bertambahnya jumlah pengikut MIT, membuktikan kalau Satuan Tugas Operasi Tinombala kembali kecolongan untuk kesekian kalinya,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Mohammad Afandi kepada BeritaBenar, Jumat, 11 Januari 2019.

“Saya heran dengan petugas di sana (Poso). Sampai sekarang kelompok MIT masih eksis. Bahkan saat operasi sedang berlangsung, pengikut MIT bisa bertambah.”

Afandi mempertanyakan apa yang salah dengan pola operasi keamanan yang dilakukan di Poso sejak tahun 2015.

“Saya tidak menyalahkan pihak manapun. Tapi apakah mau kita biarkan. Anggota terus bertambah, operasi terus berlangsung, seperti tidak ada penyelesaian. Ini mau sampai kapan,” imbuhnya.

Diperpanjang lagi

Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Hery Murwono menyatakan, Operasi Tinombala yang digelar sejak Januari 2016 diperpanjang tiga bulan ke depan untuk memburu 14 militan MIT, kelompok terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Selain Poso, wilayah Operasi Tinombala ialah pegunungan di Kabupaten Parigi Moutong dan Sigi karena anggota MIT diperkirakan beroperasi di tiga daerah itu.

Apalagi setelah seorang warga, Ronal Batau alias Anang (34), ditemukan dengan kepala terpenggal dekat sebuah jembatan di Kecamatan Sausu, Parigi Moutong, 30 Desember lalu.

“Mohon maaf untuk strategi, teknis, dan taktis di lapangan, kami tidak diperbolehkan mempublikasikannya dengan perhitungan akan menghambat jalannya operasi,” kata Hery saat dihubungi BeritaBenar, Kamis, 10 Januari 2019.

Warga diminta turut berpartisipasi serta memberi dukungan agar target tercapai, dan situasi keamanan semakin kondusif, serta bebas dari ancaman terorisme, tambahnya.

Pada Rabu, 9 Januari 2019, Polda Sulteng merilis nama baru yang bergabung dengan MIT sehingga total militan yang kini diburu ratusan personel gabungan Satuan Tugas Tinombala menjadi 14 orang.

Tiga dari empat nama baru berasal dari Banten, yaitu Alvin alias Adam alias Mus’ab, Jaka Ramadan alias Ikrima, serta Al Qindi Mutaqien alias Muaz. Sedangkan seorang lagi dari Makassar, Sulawesi Selatan, yakni Andi Muhamad alias Abdulah.

Sebelumnya dalam beberapa kali pernyataan, pimpinan Polri menyebutkan sisa anggota MIT berjumlah tujuh orang setelah pimpinannya Santoso alias Abu Wardah tewas dalam baku tembak dengan pasukan TNI pada 18 Juni 2016 dan para pengikutnya ditangkap.

MIT kini dipimpin oleh Ali Muhammad alias Ali Kalora alias Ali Ambon setelah pengganti Santoso, yaitu Basri alias Bagong ditangkap polisi pada Agustus 2016.

Menurut Hery, sebelumnya Polda memang menyebut anggota MIT yang dimasukkan ke Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme tersisa di Poso tujuh orang, kemudian berubah menjadi 10 orang.

“Namun dari hasil laporan terbaru intelijen diketahui bahwa jumlah anggota MIT saat ini adalah 14 orang,” katanya.

Namun, Hery enggan memerinci kapan empat anggota MIT tersebut bergabung dengan kelompok Ali Kalora.

Terkait penilaian aktivis kalau aparat keamanan kecolongan, Hery menyatakan Polda tak berspekulasi kalau masuknya militan baru karena kelalaian petugas di Poso.

“Ini masih kami selidiki,” tegasnya.

Sedangkan, 10 militan yang dinyatakan DPO terorisme yaitu Ali Kalora, Basir alias Romji, Qatar alias Fareld, Askar alias Pak Guru, Nae alias Galuh, Abu Alim alias Ambo, Mohamad Faisal alias Namnung, Alhaji Kaliki alias Ibrohim, Rajif Gandi Saban alias Rajes, dan Adtya alias Idad.

Sebelum Operasi Tinombala digelar pada Januari 2106 yang beberapa kali diperpanjang, aparat gabungan Polri dan TNI telah melakukan Operasi Camar Maleo pada 2015 untuk memburu Santoso dan para pengikutnya.

Sulit

Pakar terorisme Asia Tenggara, Sidney Jones, menyebutkan sulit menghabisi kelompok militan seperti MIT, karena ada akar cukup mendalam sejak konflik komunal Poso tahun 2000.

Dari kombatan lokal, muncul kelompok ekstrim seperti Mujahidin Tanah Runtuh yang berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah atau Mujahidin Kayamanya yang berafiliasi dengan KOMPAK, atau Laskar Jundullah yang lahir dari kelompok sempalan Wahdah Islamiyah, katanya.

“Terus ada fraksi DI-NII (Darul Islam-Negara Islam Indonesia) dari Makassar yang juga bergabung,” kata Sidney kepada BeritaBenar.

“Jadi walaupun Poso kelihatannya kondusif, ternyata jaringan lama masih ada dengan tambahan unsur baru.”

Setelah Operasi Tinombala, tambahnya, Poso memang kelihatan aman.

“Tapi masih ada pengajian dan dakwah oleh orang ekstrim, masih ada orang yang mau menghidupkan jaringan lama, dan masih ada banyak orang keluar dari penjara, tanpa mengubah sikapnya sama sekali,” ujar Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) itu.

“Ada juga yang keluar tidak mau kembali ke kekerasan. Tapi banyak juga yang kembali. Itu fakta.”

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe di Aceh, Al Chaidar menambahkan, jaringan MIT begitu kuat sehingga memudahkan perekrutan anggota baru.

“Pasti ada jaringan yang mengawal mereka sehingga bisa bergabung di pegunungan. Nah, jaringan itu seharusnya dipangkas oleh petugas,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.