Dituduh Mesum, Pasangan Nikah Siri di Aceh Disiram Air Got
2018.07.30
Banda Aceh
Berbagai kalangan di Aceh menyesalkan tindakan sekelompok warga yang menyiramkan air got kepada seorang pejabat Kota Langsa dan pasangannya yang dinilai bermesraan di luar perkawinan - hal yang dilarang Syariat Islam. Pasangan tersebut kemudian diketahui telah menikah siri.
“Secara hukum, tidak ada dasar bagi masyarakat untuk melakukan persekusi seperti itu. Tidak ada hukum adat membolehkan kita memandikan pelaku pelanggar jinayah (hukum pidana Islam) dengan comberan,” ujar Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, EMK Alidar kepada BeritaBenar, Senin, 30 Juli 2018.
TSF (52) yang merupakan pejabat teras Pemerintah Kota Langsa di Aceh bagian timur dan istri mudanya berinisial DK (30) digerebek warga sebuah desa di kota itu, Sabtu sore pekan lalu. Warga menuding mereka telah berbuat mesum (khalwat) dan mencemarkan nama baik desa.
DK mengaku dia dan suaminya sedang makan dalam kamar rumah milik keluarganya ketika tiba-tiba datang sekelompok massa.
“Saya ditarik dan sempat terjadi adu mulut karena saya menjelaskan bahwa kami suami istri sah sambil menunjuk buku nikah siri, tapi mereka tidak percaya. Kami ditarik keluar dan sempat dipukul,” katanya seperti dikutip beberapa media lokal.
Kemudian sempat terjadi negosiasi antara TSF bersama tokoh desa dan disepakati untuk membeli satu kambing seharga Rp2,5 juta sebagai pengganti biaya karena mereka telah dianggap mencemarkan nama baik desa.
“Sudah mau kami berikan, lalu ada yang minta satu lembu dan ada yang menyuruh agar disiram air comberan. Saya sangat takut sampai kemudian kami disiram dengan air got,” katanya.
Aceh ialah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan Syariat Islam secara parsial melalui Qanun (peraturan daerah) Jinayat.
Qanun jinayat itu antara lain mengatur masalah-masalah minum minuman beralkohol, perjudian, khalwat atau berdua-duaan pasangan non-muhrim yang belum menikah di tempat tertutup, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan hubungan seksual sesama jenis.
Bagi pelaku pelanggaran syariat biasanya dicambuk di depan umum setelah ada putusan mahkamah syar’iyah (pengadilan agama).
Video amatir yang beredar di media sosial memperlihatkan TSF dan DK disiram air comberan.
“Itu spontanitas masyarakat yang sebenarnya memang tak boleh karena itu main hakim sendiri. Kalau dianggap bersalah, lapor ke Wilayatul Hisbah,” kata Alidar merujuk kepada polisi syariah, yang selama ini mengawal penegakan syariat Islam di Aceh.
Bukan kasus pertama
“Ini bukan kasus pertama. Sebelumnya juga pernah ada yang digerebek karena dianggap melanggar syariat dimandikan air parit,” tutur Zulfikar Muhammad, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, mengecam persekusi oleh warga tersebut.
Pada Maret lalu, seorang pemuda dan pacarnya juga dimandikan air comberan dengan tuduhan keduanya melakukan khalwat, setelah warga menggerebek sebuah rumah di Kabupaten Aceh Besar.
Zulfikar dan Alidar berharap aparat kepolisian mengusut tuntas aksi main hakim sendiri itu karena dapat berdampak negatif terhadap penegakan Syariat Islam di Aceh.
“Ini perbuatan melawan hukum. Tindakan kriminal yang dilakukan warga. Ini kejahatan, sama seperti pengeroyokan. Polisi harus bergerak cepat, tak harus menunggu laporan,” ujar Zulfikar.
“Dalam Islam, menuduh seseorang berbuat mesum atau berzina tanpa bisa memberikan bukti, kena hukum syariat. Konon lagi, setelah menuduh, lalu melakukan penghukuman, di luar proses hukum lagi.”
Alidar menambahkan, memang sering alasan yang dipakai masyarakat ialah menegakkan syariat dalam bertindak main hakim sendiri, padahal tidak ada aturannya.
“Polisi bisa memproses oknum masyarakat yang melakukan (tindakan) seperti itu untuk menjadi pembelajaran,” ujarnya, “apa pun alasannya, tindakan masyarakat itu sudah di luar batas.”
Kapolres Langsa, AKBP Satya Yudha Prakasa, saat dikonfirmasi mengaku bahwa pihaknya masih mengusut kasus tersebut.
“Masih dalam penyelidikan terkait kasus ini, anggota masih di lapangan,” katanya sambil menyebutkan kedua korban belum melaporkan kasus menimpa mereka ke polisi.
Mediasi
Tapi, Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Ibrahim Latif, tidak setuju kalau dilakukan proses hukum terhadap warga yang menyiramkan air got ke pasangan itu karena dia telah memediasi pertemuan antara para pihak dan mereka sepakat untuk berdamai.
“Saling memaafkan antara pihak yang memandikan dan tak saling menuntut. Saya ingin masalah ini tidak panjang lagi,” katanya.
“Kalau masalah ini panjang dan saling tuntut menuntut, saya akan buktikan bahwa surat nikah itu tidak sah. Saya sanggup bukti itu tidak sah karena pada umumnya nikah siri itu tidak ada wali.”
“Tapi kalau buku nikah tidak sah, berzina mereka. Saya proses untuk dicambuk,” tambah Ibrahim.
Penolakan proses hukum terhadap warga pelaku penyiraman comberan juga disuarakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (NU) Aceh, Teungku Faisal Ali, karena menurutnya, agak sedikit susah.
“Menambah masalah, dan masyarakat akan bertambah buas. Tak perlu diproses secara hukum, tapi penyuluhan ditingkatkan supaya ke depan jangan terjadi lagi,” katanya.