Menhan: Tiga Persen Anggota TNI Terpapar Paham Radikal
2019.06.19
Jakarta

Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa terdapat sekitar tiga persen anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah terpapar paham radikal dan menolak Pancasila.
Hal itu disampaikannya dalam pertemuan dengan purnawirawan dan anggota TNI di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu, 19 Juni 2019.
"Saya sangat prihatin dengan hasil pengamatan yang dilakukan Kementerian Pertahanan baru-baru ini. Pancasila itu kan perekat negara kesatuan ini," kata Ryamizard.
Jumlah anggota TNI hingga 2018 tercatat sebanyak 975.750 orang. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 876.000 personel.
"Kurang lebih tiga persen ada TNI yang terpengaruh radikalisme," kata Ryamizard, merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan yang tidak dirilis kepada publik.
"Kita mengimbau supaya mereka kembali menepati sumpah prajurit. Menyatakan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila."
Eks militer teroris
Pengamat dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Adhe Bhakti, mengatakan keterlibatan sejumlah anggota militer dalam kelompok teror memang bukan hal baru di Indonesia.
Ia menyebut tiga nama teroris yaitu Sabar Subagio alias Daeng Koro, Yuli Harsono, dan Nanang Kosim.
"Ketiganya adalah eks anggota militer yang bergabung dengan kelompok teror," kata Adhe kepada BeritaBenar.
Sabar Subagio alias Daeng Koro, terang Adhe, bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso dan menjadi salah satu tokoh penting militan yang beroperasi di Kabupaten Poso dan sekitarnya, Sulawesi Tengah.
Ia belakangan tewas ditembak anggota gabungan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 Polri di Pegunungan Sakina Jaya, Desa Pangi, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada April 2015, saat operasi perburuan anggota MIT.
Sabar merupakan pecatan TNI pada 1992 dengan pangkat terakhir kopral dua, setelah didapati berbuat asusila empat tahun sebelumnya. Ia menjalani proses peradilan militer dan divonis tujuh bulan kurungan di rumah tahanan militer.
Selama masa dinas di militer, Sabar sempat berdinas di pasukan elit TNI yakni Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) yang merupakan cikal bakal Komando Pasukan Khusus.
Selain itu, ia pernah pula bertugas di Brigif Linud 3/ TBS Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Adapula Yuli Harsono adalah anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang tewas saat dilakukan penggerebekan oleh Densus 88 di Klaten, Jawa Tengah, pada 2010.
Ia pernah bertugas di Pusat Pelatihan dan Pendidikan TNI Angkatan Darat di Bandung.
Sebelum dipecat setelah ketahuan bergabung dengan JI, Yuli pernah mencuri sejumlah amunisi sisa latihan di markas TNI.
Sedangkan Nanang Kosim adalah terduga teroris yang tewas ditembak Densus 88 Polri di Cilegon, Banten, pada Maret 2017.
Ia bergabung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan turut hadir dalam pelatihan militer di Malang, Jawa Timur, pada 2015.
Kelompok lain
Selain memaparkan keberadaan anggota TNI yang terpapar paham radikal dan menolak Pancasila, Ryamizard dalam kesempatan yang sama juga menyebut paham serupa telah menginfiltrasi kelompok masyarakat lain.
Ia menyebut bahwa berdasarkan pemantauan kementeriannya, terdapat 23,4 persen mahasiswa menolak Pancasila dan setuju dengan negara Islam atau khilafah.
Jumlah hampir serupa didapat di kalangan siswa sekolah menengah atas, yakni 23,3 persen.
Sementara, kalangan pegawai swasta, menurut Ryamizard, didapati penolak Pancasila sebesar 18,1 persen.
"Kemudian 19,4 persen PNS (pegawai negeri sipil) dan 19,1 persen pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) menyatakan tidak setuju dengan Pancasila," tambahnya.
Pemerintah kini memang tengah berupaya keras untuk menangkal laju paham radikal di Tanah Air.
Terbaru, panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menelusuri rekam jejak para pendaftar terkait dugaan keterlibatan dalam paham radikal.
Selain itu, panitia juga akan menjalankan sejumlah tes psikologi klinis yang bisa melacak kecenderungan seseorang bisa terpapar radikalisme.
"Panitia seleski tidak mau kecolongan ada yang kecenderungan ke sana (radikalisme)," kata Ketua Panitia Seleksi KPK, Yenti Ganarsih.