23 Terduga Teroris JI Dipindahkan ke Jakarta dari Lampung
2020.12.16
Jakarta
Sebanyak 23 terduga militan Jemaah Islamiyah (JI) yang ditangkap di Lampung sejak beberapa minggu lalu dipindahkan ke Jakarta untuk penyelidikan lebih lanjut, kata Mabes Polri, Rabu (16/12) .
Dua diantara mereka Zulkarnaen dan Upik Lawanga, yang penangkapannya sudah diumumkan kepolisian sebelumnya, kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Ahmad Ramadhan.
“Baru saja kita saksikan 23 tersangka teroris dari Jemaah Islamiyah yang digeser dari Lampung menuju Jakarta,” kata Ahmad kepada wartawan.
Para tersangka tersebut tiba di Jakarta dengan pengawasan ketat dari Densus 88. Berdasarkan video yang dikirimkan Polri, tangan dan kaki mereka diborgol dengan mata tertutup dan satu per satu diawasi petugas.
Ahmad mengatakan Zulkarnaen, alias Aris Sumarsono, merupakan buronan Polri selama 18 tahun dan diduga terlibat dalam kasus bom Bali 1 pada 2002, yang menewaskan 202 orang.
“Ia juga pernah pernah menjadi pimpinan pasukan Jemaah Islamiyah dan merupakan pelatih akademi militer di Afghanistan selama tujuh tahun,” ujar Ahmad.
Zulkarnaen, yang ditangkap di Lampung Timur pada 10 Desember, juga diduga terlibat kerusuhan yang melibatkan komunitas Muslim dan Kristen di Maluku dan Poso di Sulawesi Tengah pada tahun 1998 -2000, kata Ahmad.
Ahmad mengatakan dia juga diduga sebagai otak dari peledakan Kedubes Filipina di Menteng Jakarta pada 1999 termasuk peledakan gereja serentak pada malam Natal tahun 2000.
Upik, yang ditangkap bulan lalu di Lampung setelah buron 14 tahun, merupakan anggota JI yang mempunyai keahlian pembuatan senjata api dan pembuatan bom dengan daya ledak tinggi, kata polisi.
Polisi menuduh Upik terlibat beberapa kasus terorisme besar di Sulawesi Tengah pada kurun waktu 2004-2006.
Sementara itu, ujarnya, 21 tersangka lainnya memiliki peran dan berpotensi serta berkontribusi dalam perencanaan tindak pidana terorisme di kemudian hari.
“Saat ini ke 23 tersangka dibawa ke tahanan teroris,” ujar dia tanpa menyebut lokasi dan tempatnya.
Sementara itu, Juru Bicara Mabes Polri, Aswin Siregar, mengatakan polisi masih mendalami peranan 21 orang yang ditangkap.
“Terkait 21 tersangka, semua masih ada penyidikan lanjutan, termasuk siapa yg menyembunyikan Upik Lawanga dan Zulkanaen, memberi support logistik dan lain-lain peran yang akan tergambar jelas nantinya,” kata Aswin kepada wartawan.
Bulan lalu, polisi mengatakan mereka telah menangkap 30 anggota JI sejak awal tahun ini sebagai antisipasi kemungkin aksi terorisme di masa mendatang.
Tidak mati
Pakar terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, mengatakan JI tidak benar-benar mati.
“Walaupun pimpinan tinggi JI sudah tertangkap, dan pasti akan dihukum bertahun-tahun, namun JI punya kapasitas untuk muncul kembali, untuk bertahan walaupun terpukul begitu berat,”ujarnya.
“JI merupakan satu-satunya organisasi ekstrim di Indonesia yang punya kapasitas dan strategi jangka panjang,” tambah Sidney.
Sidney menjelaskan JI bukan saja sebagai organisasi tapi lebih bisa dikatakan sebagai bentuk komunitas di mana semua orang JI saling kenal.
“Mereka mau JI menikah dengan JI, berbisnis dengan sesama orang JI supaya organisasinya diperkuat, bagi anggotanya JI itu adalah way of life, bukan saja organisasi jihadis,” ujar dia.
Ia menilai baik Zulkarnaen dan Upik Lawanga sudah sangat lama tidak aktif sehingga diragukan masih memiliki tingkat ancaman yang tinggi.
“Mereka tidak berbahaya karena Zulkarnaen sudah 18 tahun tidak berbuat apa-apa, sementara Upik Lawanga sudah 14 tahun tidak terlibat aksi manapun,” ujarnya.
Sekarang ini, menurut Sidney, JI memang tidak bersifat ancaman dalam jangka pendek dan mereka sangat anti ISIS, namun mereka tetap memegang pada tujuan untuk mendirikan negara Islam.
“Mereka bisa menahan diri dan menunggu pada saatnya yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukan revolusi,” ujar Sidney.
“Mereka sudah mencoba untuk menginfiltrasi melalui politik Indonesia ketimbang melakukan pemboman dan kekerasan,” kata Sidney.
Saat ini, sudah ada sekitar 80 orang JI yang dikirim ke Suriah untuk mendapatkan latihan militer.
“Bukan karena untuk melakukan aksi teror sekarang ini tetapi mereka yakin kalau ingin mendirikan negara Islam maka diperlukan pasukan militer,” paparnya.
“Bisa saja orang yang dikirim ke Suriah itu lebih radikal yang mau bikin kelompok baru. Itu yang dikhawatirkan kepolisian,” ujar dia.
Sementara itu, peneliti dari lembaga yang mengkaji terorisme dan kekerasan politik Galatea, Ulta Levenia Nababan, mengatakan kelompok JI memang tidak pernah mati.
“Mereka hanya meredam saja, sel tidur, tapi mereka banyak mengirim orang ke Timur Tengah untuk berlatih. JI lebih terstruktur dan di sana ada training pembuatan bom dan senjata api,” ujarnya.
Kompensasi korban terorisme
Sementara itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan Rabu bahwa pemerintah telah menyerahkan kompensasi perdana kepada 215 korban dan ahli waris tindak terorisme yang terjadi sejak 2002 senilai Rp39,2 milyar.
“Penyerahan kompensasi perdana terhadap korban terorisme di Indonesia adalah bukti kehadiran negara,” ujar Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman dalam pernyataan di Jakarta.
Sejak 2018, upaya pemulihan hak-hak korban dilakukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam bentuk pemberian kompensasi, bantuan medis, layanan psikologis, serta rehabilitasi psikososial.
Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No 35 tahun 2020 sebagai perubahan PP No.7/2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban yang diundangkan 8 Juli 2020.
“Praktik pemberantasan terorisme dan penanganan korban terorisme di Indonesia menjadi salah satu model yang dianggap sukses, yakni beriringnya proses penegakan hukum untuk memburu para pelaku aksi terorisme dan pada sisi lainnya memberikan perlindungan kepada korban terorisme melalui langkah-langkah pemulihan hak korban,” ujar Fadjroel.
Kementerian Keuangan telah menyetujui penghitungan kompensasi dan santunan kematian bagi korban dengan kategori luka ringan sebesar Rp75 juta, luka sedang sebesar Rp115 juta, luka berat sebesar Rp210 juta, dan korban meninggal sebesar Rp250 juta.
FPI
Sementara itu, sehari sebelumnya Ketua Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto mengatakan bahwa puluhan mantan anggota Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam kelompok teroris pro-ISIS di Indonesia, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
“Saya buka datanya, ada 37 anggota FPI atau dulunya anggota FPI yang kemudian gabung JAD, MIT dan sebagainya yang terlibat aksi terror,” kata Benny dalam wawancara di YouTube dengan Medcom.id.
Sebelumnya Zachari Abuza, pakar isu terorisme berbasis di Washington, mengatakan FPI dan kelompok-kelompok “penegak moral” lainnya di Tanah Air bukanlah organisasi teroris. Namun kelompok-kelompok seperti JAD dan JI merekrut anggota